35. Sunset

44 5 1
                                    

Halo readers 🙌

Vote, comment, share and follow.


"Itu tadi hebat Lana."

"Itu bukan apa-apa, Jen. Jangan menyanjungku seperti itu!"

"Sungguh, aku saja mungkin tidak akan bisa melakukannya."

Kedua pipi itu bersemu merah seperti tomat, Lana tersipu, malu-malu.

"Kamu hebat, kamu menolong anak itu jika saja kamu tidak cepat memberi pertolongan pertama aku yakin sekali kondisi anak itu akan semakin memburuk," Jenderal mendekatkan wajahnya kewajah Lana.

"Aku berani bertaruh kaki anak itu pasti patah." sambungnya sedikit berbisik.

Mata Lana membulat. "Hush Jen! Jangan bilang gitu dong, kamu nggak kasihan sama anak itu?"

"Kasihan,"

"Kalo kasihan—–"

"Maksudku kalau saja kamu tidak membantunya dan memberi pertolongan pertama mungkin kaki anak itu akan patah karena terjatuh dari pohon tinggi itu, tapi beruntung ada kamu, dan semoga saja anak itu baik-baik saja setelah dibawa kerumah sakit, kakinya baik-baik saja."

Tersenyum simpul, Lana mengangguk pelan. "Aku harap begitu."

Lengang beberapa detik.

"Lana,"

"Hm?"

"Sepertinya kamu cocok jadi Dokter." kata Jenderal tiba-tiba yang cukup membuat Lana kaget kemudian perempuan itu menggeleng pelan membuat Jenderal praktis menaikkan satu alisnya.

"Kenapa, kamu enggak mau jadi Dokter?"

"Tidak. Aku takut."

"Apa yang kamu takutin, Lana?"

"Menjadi Dokter itu artinya kamu harus bisa menyelamatin ribuan nyawa,"

"Bukankah itu bagus? Itu artinya kamu sangat berjasa dalam menyelamatin ribuan nyawa orang."

Sekali lagi Lana menggeleng pelan. "Apanya yang bagus? Gimana kalo aku gagal? Aku gagal menyelamatin nyawa seseorang."

Jenderal tersenyum. "Gagal atau berhasil itu bukan patokan buat kamu takut, bukan alasan buat kamu tidak menyukai profesi Dokter, yang menentukan hidup dan mati seseorang itu adalah kehendak Yang Maha Kuasa sedangkan seorang Dokter hanyalah perantara yang bertugas sekuat tenaga dan berusaha menyembuhkan dan menyelamatkan nyawa seseorang, jika orang itu tidak bisa diselamatkan itu artinya adalah takdirnya dan bukan kesalahan dan kegagalan seorang Dokter."

Lana tersenyum simpul. "Aku paham. Tapi, meskipun begitu aku tetap gak mau jadi Dokter!"

"Enggak apa-apa itu pilihan kamu karena itu hidup kamu."

"Aku suka nyelamatin orang tapi bukan berarti Dokter adalah profesi yang tepat untuk aku minatin."

Lenggang sejenak, Jenderal tertawa pelan. "Mau jadi apa kamu dimasa depan nanti itu kamu sendiri yang menentukan bukan orang lain, jadi apapun jalan yang kamu pilih aku pasti akan selalu mendukung."

Lana mengangguk pelan, senyumannya semakin mengembang.

"Aku seneng kamu suka membantu orang lain, kamu udah kayak relawan tau gak?!"

"Beneran? Kamu lihatnya gitu?"

Jenderal mengangguk sekilas.

"Jadi relawan kayaknya menarik juga," Lana menjadi antusias.

"Kalo gitu kamu jadi relawan aja!"

"Nggak!"

"Kenapa? Bukannya tadi kamu bilang menarik juga, kenapa enggak jadinya?"

"Karena... Ah, nggak tau, aku juga gak tau alasannya."

"Kok?—– aneh ya kamu haha!" Jenderal tertawa membuat Lana yang ada dibelakangnya dengan refleks mengeplak bahu laki-laki itu.

"Malah dipukul, kamu gak gayuh sepedannya 'kan?"

Lana melotot dibelakang sana. "Enak aja! Kaki aku udah pegel gini kamu malah nuduh aku gak ikut ngayuh, wah parah ya kamu!"

"Masa sih? Tapi ini berat banget loh kayak aku sendiri yang ngegayuh!"

"Terserah kamu! Yaudah kamu sendiri aja yang gayuh sepedanya aku tinggal duduk cantik dibelakang!" final Lana hanya untuk membuat Jenderal semakin tidak terima didepan sana.

"Curang itu namanya, mana bisa gitu!"

"Gak peduli, aku gak denger!"

Sehari sebelum keberangkatan Jenderal meraih cita-citanya. Lana dan Jenderal menghabiskan waktu berdua dengan mengelilingi Ibukota mengunakan Sepeda. Mengunjungin beberapa tempat hiburan, makan siang bersama, hingga menikmati keindahan matahari tenggelam dipantai.

"Hari ini, itu adalah sunset terakhir yang kita lihat bersama." kata Jenderal tiba-tiba yang langsung membuat Lana menoleh padanya.

"Apasih? Kayak kita gak bakal ketemu lagi aja!"

"Bukan gitu. Ya kita bakal ketemu lagi," Jenderal berdeham kecil. "Tapi... Lama."

"Emangnya bakal seberapa lama? Waktu itu cepat berlalu, setahun aja rasanya cepet banget." Lana kembali menatap kearah matahari yang mulai ditelan bumi.

"Tapi akan terasa lama jika kita tunggu, waktu akan memeluk kita semakin lama jika kita menunggunya." sambungnya.

"Jadi intinya kamu gak bakal nunggu aku?"

Lana kembali menoleh pada Jenderal. "Mau seberapa lama waktu, mau seerat apapun waktu memelukku, aku akan selalu menunggu kamu disini." katanya.

Lana tersenyum, sebuah senyuman yang amat meneduhkan seperti embun pagi, sebuah senyuman manis yang sangat tulus yang ingin Jenderal lihat setiap saat. Jenderal membalas senyuman itu dengan tidak kalah manisnya lalu keduanya mengikis jarak sedekat mungkin, dibawah naungan langit merah jambu dimana matahari perlahan ditelan bumi, Lana memberikan sebuah ciuman hangat yang sangat tulus.

Disela ciuman itu Lana berujar. "Aku akan menunggumu disini jadi, cepatlah kembali."












Bersambung...

Jenderal Dan Semesta [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang