Extra Part

10.1K 496 71
                                    

Langkah kaki Guntur telah sampai pada kaki tangga terakhir rumah megahnya. Hari ini ia terlihat menggunakan pakaian yang rapi. Kemeja putih dan juga jeans yang dapat menambah kesan tampan di dalam dirinya. Guntur terus melangkah hingga sampai di ruang tamu-Bi Mirna menatap heran Guntur sembari menghentikan aktivitas menyapu lantai.

"Den Guntur mau kemana jam segini udah rapi?"

Wajah Guntur terlihat lebih bersemangat ketika mendengar pertanyaan tersebut. Ia memperlebar senyumannya kemudian membalas pertanyaan itu. "Mau ke rumah Lava. Hari ini adalah anniversary kita yang ketiga tahun, Bi. Jadi, Guntur sengaja mau ngajak Lava jalan-jalan seharian terus malamnya mau ngajak Lava makan malam di restaurant yang udah Guntur booking khusus buat Guntur sama Lava. Semuanya udah Guntur siapin dari jauh-jauh hari. Dari dulu Guntur nggak pernah merayakan anniversary Guntur sama Lava dan sekarang waktunya. Guntur mau ngasih kejutan terbaik buat Lava."

"Den..." Mata Bi Mirna terlihat berkaca-kaca. Wanita paruh baya itu meletakkan sapunya di dekat meja kemudian berjalan mendekat pada Guntur yang masih terlihat bahagia.

"Udah, ya? Semuanya udah berlalu, Den. Satu tahun yang lalu Non Lava udah meninggalkan kita. Den Guntur harus bisa menerima semua ini. Den Guntur nggak bisa terus-terusan menganggap kalo Non Lava masih ada. Berhenti bersikap kayak gini, Den. Bibi yakin Non Lava juga sedih kalo ngeliat Den Guntur begini terus."

"Lava masih ada, Bi. Emangnya Lava kemana?"

Guntur mengeluarkan ponsel dari saku celananya kemudian menunjukkan room chatnya dengan Lava yang masih aktif berkirim pesan.

"Bahkan semalem Guntur baru aja abis ngirim pesan ke Lava biar dia bisa meluangkan waktunya buat hari ini dan Lava bales pesan Guntur, Bi. Setiap hari kita masih sering chating-an."

"Den...Bibi mohon. Den Guntur juga yang menyaksikan sendiri pemakaman Non Lava. Den Guntur yang melihat bagaimana Non Lava kehilangan nyawanya. Semua itu cuma permainan Den Guntur sendiri. Ponsel Non Lava, Den Guntur yang pegang. Bibi mohon jangan begini lagi. Berhenti menciptakan dunia baru di mana di dalam sana Non Lava masih hidup."

"Den Guntur masih punya masa depan yang harus Den Guntur lalui. Biarin Non Lava tenang di alam sana, Den. Dia udah baik-baik aja sekarang. Seenggaknya, bersama Tuhan nggak akan bikin dia terluka. Maka, Den Guntur juga harus bisa merelakan kepergian Non Lava."

"Bibi nggak mau ngeliat Den Guntur begini terus. Setiap malem Bibi suka denger Den Guntur bicara dengan ponsel Den Guntur, seolah Den Guntur lagi teleponan sama Non Lava. Padahal, telepon itu juga tersambung ke ponsel Non Lava yang ada di sebelah Den Guntur. Bibi sedih ngeliatnya, Den. Belajar ikhlas, ya? Jangan kayak gini terus."

Guntur mengubah posisinya menjadi berjongkok. Air mata itu kembali mengalir di pipinya. Ia masih tidak bisa merelakan kepergian Lava. Selama satu tahun belakangan ini, Guntur selalu bermain dengan imajinasinya sendiri. Guntur selalu bersikap seolah Lava memang masih hidup.

Bi Mirna ikut berjongkok kemudian mengusap lembut punggung Guntur.

"Lava udah nggak ada, ya, Bi? Lava beneran ninggalin Guntur sendirian?"

"Apa Lava nggak bisa kembali lagi, Bi?"

"Guntur nggak bisa kehilangan Lava, Bi. Guntur nyesel banget karena selama Lava hidup Guntur selalu kasar sama dia. Guntur selalu nyakitin dia, Guntur bikin hidup dia hancur."

"Sekarang Guntur harus apa, Bi? Guntur mau Lava kembali."

"Mereka yang sudah pergi nggak akan bisa kembali, Den. Bibi juga sama merasa kehilangan banget. Non Lava udah kayak anak kandung Bibi sendiri, Bibi juga kangen banget sama dia. Nggak ada yang tiba-tiba dateng dan bantuin Bibi menyelesaikan pekerjaan rumah. Nggak ada yang suka bercanda sama Bibi. Nggak ada senyuman Non Lava yang bisa Bibi liat lagi. Tapi mau gimana lagi? Takdirnya emang harus begini. Kita nggak bisa terus-terusan larut dalam kesedihan. Yang paling utama adalah, kita harus selalu mengirimkan doa buat Non Lava dan kembali menata kehidupan yang baru."

"Bibi tahu gimana perasaan Den Guntur. Penyesalan memang datangnya belakangan dan kita juga nggak bisa terus-terusan menyalahkan diri kita sendiri atas apa yang terjadi."

"Mulai sekarang, coba pelan-pelan Den Guntur terima semua ini. Jangan simpan ponsel Non Lava lagi. Ikhlaskan kepergiannya, biar Non Lava juga tenang."

"Guntur emang bego banget, Bi. Nggak seharusnya Guntur nyakitin Lava. Dia nggak pantes dapet perlakuan kayak gini. Lava belum pernah bahagia, Bi. Lava belum merasakan tinggal sama orang tuanya, belum ketemu sama mamanya, meluk mamanya dan masih banyak lagi hal yang belum sempat Lava rasakan selama di dunia."

"Guntur yang bikin Lava jadi kayak gini, Bi."

"Guntur jahat sama Lava, Bi. Guntur yang bikin Lava meninggalkan dunia ini."

"Udah, ya? Berhenti menyalahkan diri sendiri. Den Guntur harus bisa bangkit lagi. Bibi akan selalu ada buat Den Guntur."

Guntur menghapus air mata di pipinya. Entah ia akan bisa berhenti menganggap bahwa Lava masih ada atau tidak karena terkadang ia sendiri tidak bisa membedakan mata yang nyata dan mana yang hanya ilusi. Rasa sesal itu benar-benar berhasil membuatnya seperti kehilangan akal.

"Guntur mau tetep nemuin Lava di makamnya. Guntur pamit dulu, ya, Bi." Guntur mencium tangan Bi Mirna kemudian membawa bucket bunga yang memang sengaja ingin ia berikan kepada Lava namun ternyata hanya berakhir diberikan kepada makam Lava.

Setelah cukup jauh berkendara. Guntur sampai di area pemakaman yang luas. Padang rumput itu terlihat segar tetapi sayangnya di balik semua itu-ia menyimpan begitu banyak jasad manusia yang berarti bagi setiap orang terdekatnya.

Guntur mengubah posisinya menjadi berjongkok. Menatap nisan bertuliskan nama Lava. Makamnya terlihat begitu cantik, seperti sosok yang tertimbun di dalam sana. Guntur meletakkan bunga tadi di atas makam Lava. Mengusap lembut nisan tersebut. Berharap bahwa semua ini hanyalah kebohongan. Berharap bahwa saat ini Lava sedang berusaha menipunya walaupun nyatanya tidak. Lava memang sudah benar-benar tiada.

"Apa kabar, Va?"

Guntur akui bahwa Lava telah berhasil membuatnya menjadi sosok laki-laki yang lemah. Air mata itu selalu saja mengalir setiap kali dirinya mengingat Lava. Bagaimana Lava menangis karenanya, bagaimana Lava tersiksa karenanya. Semua itu terus berputar di dalam kepalanya.

"Hari ini anniversary kita yang ketiga, Va. Nggak nyangka gue harus merayakan di depan makam lo."

"Sampe sekarang gue belum bisa mencari pengganti lo, Va. Nggak ada yang sama kayak lo."

"Gue nggak tahu lagi harus gimana. Gue nggak bisa hidup kayak gini terus, Va. Gue tersiksa dengan pikiran gue sendiri. Gue nggak bisa melepaskan lo, Va."

"Bayangan itu selalu aja berputar di dalam kepala gue. Tangisan lo seolah terngiang di telinga gue."

Guntur menundukkan kepalanya. Ia diam cukup lama sembari merasakan semilir angin di sekitar pemakaman.

"Gue harus apa, Lava?"

Guntur menghela napas, kembali matanya menatap ke arah nisan tersebut. Ia benci karena nama itu harus tertera di sana. Seharusnya bukan nama Lava, tetapi dirinya. Seharusnya Lava bisa merasakan kebahagiaan. Lava bisa melanjutkan pendidikannya, menata masa depannya, meraih impiannya. Bukan berakhir terkubur di dalam sana. Tetapi semuanya sudah berakhir. Tidak ada kisah yang perlu dilanjutkan. Semuanya telah usai dan rasa sesal tidak akan pernah bisa mengembalikan segalanya. Dan Guntur telah kehilangan sosok perempuan yang mampu mencintainya dengan tulus. Pada kenyataannya, sesuatu yang dimulai dengan baik belum tentu akan berakhir dengan baik pula.

'Guntur'

gimana nih extra partnya? udah puas 'kan, ya? wkwk

gais, baca Tulisan untuk Zergan juga dong ☹️

Na

Guntur ; BAD BOYFRIEND [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now