3. a perfect storm

935 128 13
                                    

warning for this chapter: abuse, violence, mentioning death

· · • • • 𓏸 • • • · ·

Maurielle merasakan rahangnya bergeser ketika pertama kalinya Darren menendang tepat wajahnya. Dia terpental sampai linglung dengan posisi terbarunya. Baru akan berdiri, Darren sudah mencengkram pipinya kemudian menghadiahi tonjokan baru sampai Elle berputar dan kepalanya hampir terbentur kaki meja sebelum seseorang menahan tubuhnya.

Darren melihat itu. Dia baru menyadari ada orang lain di dalam ruangan dan ia baru saja membantu Elle di tengah hukumannya. Darren mencoba tersenyum ramah, moodnya berubah dalam sekejap seperti punya kepribadian ganda.

"Maaf, aku lupa kau masih ada disini. Kau bisa pergi sekarang, terima kasih sudah berbincang denganku," Darren mencoba mengingat nama orang barunya itu dengan baik. "...Taehyung."

Pria yang mempunyai wajah tampan itu tampak ragu untuk beranjak darisana, dia sangat khawatir dengan gadis itu. Meskipun ingin menetap, Taehyung segera membungkukkan badannya dan berbalik keluar dari ruangan. Menarik satu nafas panjang, terkejut setelah melihat kegilaan Darren.

Kembali ke ruangan. Darren berjalan mendekati anak semata wayangnya itu yang masih berusaha duduk. Tatapannya masih sama. Tak bergetar menatap wajah dirinya dengan mata berapi-api. Darren ingat terakhir dia meludahi wajahnya.

"Elle, kau tahu betapa terhormatnya Sierra dulu, bukan?" tanya Darren, jongkok di hadapannya dan bicara dengan lembut. Memegang dagu Elle dengan manis. Biasanya badai lebih besar akan datang jika Darren seperti ini.

Elle menatap ke dalam mata berwarna biru gelap itu dengan sangsi. "Apa kau bilang? Aku tidak sudi mendengar nama ibuku keluar dari mulut iblismu—"

Plak

Darren bangkit. Menarik nafas dan menggeram panjang kemudian tertawa. "Iblis sialan mana yang masuk dalam diriku." Pria itu berjalan mundur, duduk bersandar di meja kerja kemudian memijat keningnya. "Elle, ayah minta maaf," gumam Darren. Sementara Gadis itu tersentak pelan dan mundur dengan siaga mendengar permintaan maaf Darren yang sangat tiba-tiba. "Mungkin uang saku yang kuberikan selama ini belum cukup sampai kau harus... menjual diri."

Kan. Tidak mungkin Darren tiba-tiba waras begitu saja. Elle menjaga duduk agar lebih stabil supaya ketika Darren mendekatinya lagi dia bisa menahan tubuhnya dengan baik. Tetapi Elle juga bingung ketika Darren menotis apa yang dilakukan sebelumnya. Meski tak melabeli diri sendiri dengan menjual diri, tapi kasarnya sebutan itu sama saja.

Pria itu bicara dengan sangat tenang. "Bagaimana rasa penis tak ereksi Benjamin, hn?"

Elle terkesiap. Akhirnya dia ketakutan. Bola mata yang dominan warna abu-abu itu bergetar sekarang. Dia benar-benar terkejut Darren mengetahui itu. Masalahnya tidak menyebar kemana-mana. Dia cuma bersenang-senang dengan Benjamin—mengetahui pria itu adalah orang yang sedang Darren benci di list paling atas. Bayarannya juga lumayan. Tetapi bagaimana kabar ini bisa sampai ke telinga Darren?

Ketika Darren melangkah mendekat, Elle menggeleng kecil dan berusaha menghindari tatapan mata itu.

Tetapi, ya, Darren terus mengintimidasi. Dia tertawa lagi melihat pada akhirnya—jarang terjadiElle ketakutan. Dia berlutut lagi di hadapan Elle ketika gadis itu tak bisa mundur terhalang sebuah almari kayu besar. Darren mengelus canggung pipinya, tersenyum manis sebelum tangannya yang lebih besar dari dagu mungil gadis itu dengan ringan membanting kepala Elle pada lemari kayu di belakangnya.

Duagh!

Elle mengerang memegangi kepalanya yang berdenyut. Dia merasakan cairan turun dari keningnya yang terluka. Mengintip telapak tangannya yang kemudian berubah merah.

"Pelacur kecilku, Maurielle. Sierra menangis di surga sana, kau tak peduli?"

Elle menatap nyalang. "Aku dan Benjamin cuma—"

Darren muak mendengar suara Elle. Dia menghentikannya dengan menghadiahi tamparan lain. "Ssshh, jangan banyak bicara. Terima kasih karena tindakanmu, aku bisa mengirim Benjamin lebih cepat ke neraka. Lihat? Aku ayah yang baik, aku melindungimu."

Maurielle segera keluar dari ruangan Darren. Keadaannya lebih kacau dari biasanya, darah segar masih menetes turun dari kepalanya yang bocor. Dia menahan pening berjalan mencari Simon.

"Hey, kau baik-baik saja?"

Elle tak ambil pusing pada pria yang sebelumnya berada satu ruangan melihat bagaimana Darren menghajarnya. Muncul begitu saja entah darimana.

Pria itu menelan saliva. "Tentu saja, tidak," dia menjawab pertanyaannya sendiri sedetik melihat kekacauan itu.

"Siapa namamu?" tanya Elle dengan masi memegangi kepalanya. Sepertinya dia orang baru, Elle belum pernah melihatnya ada di sekitar Darren atau mansion ini.

"Taehyung. Aku orang baru." Benar, kan. "Sepertinya kita seumuran—"

Maurielle tertawa. "Kau pernah membunuh orang sebelumnya?"

Taehyung terkejut dengan pertanyaan itu. Dia terus mengikuti jalan Elle yang tertatih-tatih. Dia ingin menawarkan bantuan tapi Elle malah bertanya pertanyaan aneh lainnya.

"Tidak—belum pernah," jawabnya kikuk.

Kemudian ia mendapat balasan, "well, akan menjadi kali pertama bagimu membunuh orang berarti. Semangat."

Taehyung melihatnya pergi. Sebaiknya tak menawarkan bantuan dan tak ikut campur seperti saran Seokjin, si pemimpin tur, minggu lalu. Taehyung membawa dirinya turun dari tangga lain untuk pergi dari mansion kembali ke markas.

Sementara Maurielle mengabaikan sakit kepalanya. Dia tahu pasti dimana Simon berada sekarang. Sudah jelas Simon yang melapor pada Darren, dia tangan kanannya. Maurielle tak menyangka, mereka sudah sepakat tidak melaporkan kegiatan Elle apapun itu pada Darren—bahkan semua anak buahnya diancam langsung oleh Elle. Tapi yang ia dapatkan hari ini adalah pengkhianatan.

Gadis itu akhirnya menemukan Simon berada di pos penjagaan gerbang terakhir. Berbincang dengan beberapa orang. Secepatnya Elle menghampiri pria itu, tanpa membuat Simon sadar akan kehadirannya, dia langsung memiting pria itu, membalikkan tubuhnya dan membanting dengan mudah sampai pria itu mengerang kesakitan jatuh di atas pasir.

"Nona Maurielle—"

Pria berumur 38 tahun yang mempunyai tubuh kurus tapi gagah itu lebih terkejut melihat keadaannya. Darah dimana-mana, lebih parah dari biasanya. Dia yakin penyebab dari itu semua adalah laporannya kepada Darren kemarin malam.

"Persetan denganmu, Simon!"

"Maafkan aku, nona Maurielle! Itu laporan asli, sesuai kesepakatan. Aku tidak bakalan berani menaruh nona Maurielle dalam situasi seperti ini," mohon Simon, jika saja dia bisa menyebutkan siapa orang yang melaporkan, mungkin dia sudah bebas. Tetapi sesuai prinsipnya, itu sudah tanggung jawabnya. Anak buahnya hanya bekerja sesuai yang diperintahkan. Kelalaiannya lupa menyampaikan hal-hal tentang Maurielle. Tetapi dia pun yakin Seokjin sudah memperingati orang-orang baru sebelumnya.

Simon masih berlutut memohon ampun, sementara Maurielle mendekati pria besar lainnya. "Kau tim mata-mata Darren, kan?" tanya gadis itu pada pria lain di samping Simon. "Andrew?" tebaknya.

"Ya, nona Maurielle. Andrew Gwinnate."

Elle mengangguk-anggukkan kepala tersenyum kecil. "Simon tidak akan memberitahuku siapa yang sudah melaporkan hal ini—benar begitu, kan?" Elle melirik Simon yang masih berlutut di bawah. "Kau katakan padaku atau selesai dari pekerjaan ini."

Simon menunduk dalam. Menyesal kenapa harus Andrew yang sedang bersamanya hari ini. Dia baru saja diberitahu siapa yang melakukan itu, respon Andrew tak seperti biasa. Andrew sedari awal memang sudah tidak suka dengannya—dengan pria baru itu. Maurielle mungkin tak perlu banyak tenaga untuk mengetahui siapa yang melaporkan dirinya.

Andrew mencicit meskipun bicara begitu yakin dengan suara baritonnya. "Dia baru bertugas pertama kali, nona Maurielle. Anak baru dari Asia. Yoongi, namanya."

Maurielle menyeringai. Dia tidak kuat lagi berdiri lama-lama. Simon segera membantu memapahnya untuk pergi ke ruang medis dalam mansion. Gadis itu bicara pada Andrew sebelum pergi darisana, "Beri aku semua informasinya, detail, pun, berapa kode pintu apartemennya."

To be continued...

Ellegirl [M] ✔Where stories live. Discover now