[1] Sebuah Ketidakadilan

593 77 94
                                    

Assalamualaikum semuanya...

Gemercik air terdengar di ujung kanan sebuah ruangan. Nyaringnya mengalahkan sebuah alarm yang terpasang di meja sebelah kiri kasur king size berwarna merah dengan sprei berwarna peach. Disusul dengan kicauan burung yang menggema menghiasi paginya.

Seorang gadis dengan mata indah dan parasnya yang ayu, membuat semua orang merasa teduh melihatnya. Terlihat membuka mata dengan rambut hitam legam yang terurai. Penasaran akan bunyi itu, dia berjalan menuju pintu kamar mandi dengan kesadaran yang masih belum sempurna.

"Mike, apa kamu ada di sana? Kok, kayak ada orang yang mandi?" tanyanya.

Langkah kaki mantap, terdengar di balik pintu kamarnya. Sementara sibuk dengan pikiran yang masih belum labil, gadis itu berjalan ke arah pintu dan menemukan wanita berumur sekitar 35 tahun, tengah berdiri dengan nampan perak berisi sepotong sandwich dan susu favoritnya.

"Kamu baru bangun, Kak? Kok, bisa?"

"Iya, Mah. Semalam, Aqila nonton anime sampai jam 1. Jadi, bangunnya agak telat."

"Udah berapa kali mamah bilang. Kurangi nonton anime nggak jelas itu. Mamah nggak mau tau. Pokoknya mulai pagi ini, hp kamu mamah sita."

"Iya maaf, Mah. Tapi, nggak perlu juga disita. Nanti, aku sekolahnya gimana?"

"Bukan urusan mamah. Salah sendiri kamu enggak nurut."

Binar sedih terpapar jelas di mata terangnya. Tak semua yang dia lakukan selalu berada di hal yang benar. Semua selalu salah di mata siapa saja. Dulu saja, mamahnya meminta agar bisa menjadi yang terbaik dengan prestasi belajarnya, namun sekarang semua ucapan wanita itu ditarik kembali. Bagaimana bisa dia mengabulkan permintaan mamahnya, sementara sesuatu sebagai langkah dia memulainya telah diambil?

"Di mana, Mike? Ini sarapan untuk adikmu."

"Bukannya, buat aku?"

"Kamu udah besar. Enggak perlu diladeni kayak anak kecil? Mamah nggak pernah minta kamu manja. Mamah mau kamu mandiri, kayak tetangga depan rumah."

"Iya, Mah. Mike lagi mandi. Nanti, aku kasih sarapan buat Mike." Wanita itu pergi.

"Tidak papa. Lo kuat, kok. Lo bisa diginiin terus. Ayo, semangat."

Seorang bocah lima tahun, keluar dengan handuk yang melilit tubuh kecilnya. Dia tahu jika pagi ini sangat dingin, hingga membuat adiknya menggigil. Meletakkan sarapan di meja, gadis itu berjalan mendekati adiknya dan memakaikan seragam sekolahnya dengan mengenyampingkan keperluan sendiri. Ya, hari ini dia belum bersiap-siap sama sekali karena bangun yang terlambat. Jikalau bangun pagi juga, papahnya tidak akan menunggu selesai.

Tatapan polos dan lucu dikeluarkan dari mata Mike. Mengeringkan rambut Mike, dia mencubit gemas pipi gembul sang adik. Dinginnya pagi, terobati dengan adanya Mike di depan yang sedang menatap polos dirinya. Tak ada kata menyesal saat dia harus mengetahui jika mamahnya sedang mengandung Mike dulu. Hadirnya Mike, membuatnya bahagia dan perlahan rasa murung yang ada pada dirinya hilang.

"Kakak mandi aja. Mike bisa, kok. Nanti, kakak telat."

"Nggak, Mike. Kakak hari ini daring. Kamu yang siap-siap aja. Kalau udah, kakak nyusul."

Kondisi bumi yang sedang dilanda bencana, membuat semua akses pendidikan ditutup. Semua dilakukan dengan situs daring tanpa kecuali. Situasi yang sangat dibenci oleh semua orang, tapi Allah lebih tau mana yang terbaik. Karena hal itu, sekolahpun dilakukan secara daring. Tapi, bohong jika saat ini gadis itu daring. Sebenarnya, hari ini adalah jadwalnya masuk.

"Ini sarapan buat kakak?"

"Enggak, Mike. Ini buat kamu. Sok atuh, dimakan. Mamah udah buatin pagi-pagi."

"Terus kakak gimana?"

"Kakak belum lapar, Mike."

"Maaf ya, Kak. Mike sering repotin kakak. Mike juga sering dengar kakak dimarahi gara-gara aku."

"No. Itu nggak benar, Mike. Udah, sekarang kamu makan. Nanti mamah keburu marah. Kamu mau ditinggal papah?"

"Iya. Ya udah, barengan aja. Daripada kakak lapar."

"Nggak. Buat kamu aja. Kakak bisa kok buat sendiri. Yuk, buruan kakak temani kamu sarapan."

Mulut boleh saja berkata semua baik-baik saja, terlebih di depan orang yang disayangi. Namun, dari tatapan mata semuanya berubah sekian detik. Mata terang gadis itu menyiratkan sebuah lara yang tidak bisa dia ungkapkan. Mendapat perlakukan yang saling bertolak belakang adalah hal yang tidak diinginkan setiap orang. Karena kesabaran dan ketabahan yang dia miliki, gadis yang kini diam menatap adiknya mampu bertahan. Tapi, tidak tahu untuk ke depannya.

"Kak Aqila nangis?"

"Eh, nggak kok. Efek bangun tidur, jadi gini. Selesai belum makannya?" tanyanya.

"Udah, Kak. Ini udah selesai."

"Pinter. Ya udah, kamu turun temuin papah. Kakak beresin dulu."

"Iya, Kak. Mau salim," ucapnya lucu.

"Oke manis. Sini, salim dulu."

"Assalamualaikum, Kak Aqila." Mike pergi untuk berangkat ke sekolah.

Suasana dingin dirasakan masuk ke pori-pori kulit putihnya. Aqila melangkah mendekati jendela kamarnya dan menghirup banyak udara pagi yang sejuk. Lambaian daun menari di depan mata dengan burung merpati terbang di sekitar.

"Ya Allah, apa hamba bisa bertahan? Terima kasih karena telah memberikan kesabaran dan keadilan yang tidak bernilai saat ini."

Hai teman-teman 🥰
Aku datang dengan cerita baru...
Kali ini, mungkin rada bikin emosi insyallah...
Ada kesan religi juga insyaallah 😅🥰

Yuk" ramaikan....

CONVENIENCE (Kenyamanan)Where stories live. Discover now