[13] Mulai Dekat

34 29 8
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Hope you enjoy guys...

.
.
.
.
Semua sudah kembali ke rumah masing-masing, tepat saat guru SBK juga keluar karena telah menyelesaikan jadwal mengajar. Aqila duduk di teras masjid bersama Alinda. Talita masih di dalam kelas entah untuk apa. Dua gadis itu, menunggu jemputan di masjid.

Endah sudah lebih dulu keluar dari halaman pondok, bersama dengan Rahma dan Syifa karena mereka satu arah menuju rumahnya. Sementara Nara, dia tengah menelpon ayahnya agar dijemput. Moodnya sedikit hancur saat mengingat hal tadi.

"Pak, jemput Nara di pondok."

"Iya, tunggu."

Nara memasukkan ponselnya ke dalam saku, bersamaan dengan wajah Talita muncul di depannya. Dengan wajah sedikit lelah, Nara tersenyum di hadapan Talita. Merasa aneh, Talita melihat sekilas ke arah Nara yang terlihat kesal dan ada rasa tidak terima di dalam hatinya.

"Lo kenapa, Na?"

"Eh, kenapa? Nggak kenapa-kenapa. Cuman, capek aja pengin balik," ucap Nara.

"Udah, lo nggak usah rupa-rupa."

"Rupa-rupa apa, sih? Pura-pura yang ada," tukas Nara membuat Talita tersenyum tipis.

"Woy, lo berdua ngapain berdiri di sana? Mau jadi, Kang Security, ya?" tanya Aqila.

"Sini aja sih. Duduk, jangan berdiri terus. Nunggu jemputan, kan?" ucap Alinda.

Nara dan Talita beranjak dan menuju Aqila serta Alinda yang sedang duduk. Siang ini sangat panas. Peluh mereka banyak bercucuran walaupun tertutupi kerudung juga baju panjang. Percayalah, di dalam sana sudah seperti roti panggang. Keringatnya banyak sekali.

Aqila mengernyit dan memandang ke arah Alinda, Talita, dan Nara secara bergantian. Gadis itu yakin, jika Nara tengah kesal. Terlihat jelas dari wajahnya yang tampak tidak bersahabat. Serapat apa pun Nara menyembunyikannya, sangat sulit untuk mendekati kata berhasil karena Nara buruk dalam menutupi ekspresi wajahnya.

"Lo kenapa? Ada masalah apa sampai lo cemberut gitu?" tanya Aqila.

Sejenak Nara menatap ke arah Aqila sebelum dia berkata pada selanjutnya. "Gue rada nggak terima kalau nilai gue rendah. Masa, gue yang capek mikir cuma dapat angka 7 sedangkan mereka yang tinggal nyalin sampai sembilan puluhan atau bahkan seratus. Namanya curang lah," ucapnya.

"Emang lo dapat nilai berapa?" tanya Talita.

"Gila sih, masa 72. Sempet sempetin gue tiap hari hampir lembur, merekanya yang enak. Kesel nggak sih? Mereka sih mending tinggal sanding hp, google, terus udah tinggal salin. Lah gue, sampai pusing."

"Ya, gimana lagi? Mereka emang gitu. Yang penting udah usaha, Na. Lo juga nggak harus ambisi gede kayak gitu. Kembali lagi gimana lo ngaturnya," Alinda yang mengatakannya.

"Gue lebih rendah dari lo aja, biasa. Udah, setidaknya Allah tau apa yang mereka lakukan, Na." Aqila tersenyum mengatakannya.

Keempatnya terdiam hingga motor guru SBK lewat di hadapan mereka berempat. Dengan hormat dan sedikit cari perhatian, keempat gadis itu mengangguk dan tersenyum kala guru SBK telah jauh di hadapan mereka. Kenapa mereka cari perhatian? Karena guru SBK di kelas mereka masih muda dan tampan.

"Buset, itu guru atau apa sih? Ganteng banget. Coba aja seumuran, udah gue pacarin." Siapa lagi jika bukan Aqila yang mengatakannya. "Mana pakai jam tangan lagi. Nikmat mana yang kau dustakan," lanjut Aqila.

"Jangan berharap deh. Nanti tau kalau udah ada pawang, mampus aja lo. Nangis tujuh hari tujuh malam, " timpal Nara.

"Mulutnya dijaga, woy. Jahat amat ngomong gitu," jawab Aqila.

"Btw, lo tumben nggak naik motor. Kenapa, Aqila?" tanya Talita.

"Lo kan tau. Kalau gue males ya udah males aja. Bentar lagi juga sampai jemputannya. Lo sendiri belum balik?" Talita menggeleng.

"Nunggu Uni. Masih belum keluar."

"Btw, kuy kita foto berempat. Terakhir pakai baju muslim kan? Besok udah seragam," ucap Alinda.

Mereka berempat mulai foto bersama. Tanpa sadar, awal itu menjadi awal kedekatan mereka. Nara juga sudah jarang bersama Endah karena dia sekarang jauh lebih dekat dengan Rahma dan lain-lain. Nara maklumi, dia bersama Endah karena gadis itu masih baru dan hanya mengenalnya.

Lama menunggu, jemputan Aqila sudah datang. Gadis itu mematung saat melihat siapa yang menjemputnya. Tubuhnya mendadak kaku saat tahu siapa yang kini tengah duduk di motor bersama dengan anak kecil. Maria, mamahnya dan juga Mike adiknya yang selama ini sangat dirindukan.

"M-mamah," ucapnya dengan bibir gemetar.

"Ayo, naik! Udah nunggu dari tadi," jawab Maria dengan datar.

Sembari memastikan sekitarnya, Aqila mulai menaiki sepeda motor dengan Mike yang ada di tengahnya. Ia tidak tahu jika Talita melihat semuanya. Rasa canggung mulai mendera saat mamah dengan mudahnya membawa sepeda motor tanpa memikirkan satu hal apa pun di hati Aqila.

"Kenapa, Mamah yang jemput? Paman mana?" tanya Aqila.

"Memangnya kenapa kalau mamah yang jemput? Kamu nggak suka?"

"Nggak gitu, Mah. Bukannya, mamah suka nggak peduli sama Aqila? Kenapa tiba-tiba gini?" tanyanya gemetar.

Mamah menghentikan motornya dan dia melirik Aqila melalui kaca spion sebelah kanan. Kemudian, wanita itu menghela napas panjang. Entah kenapa bersama dengan Aqila membuatnya mudah marah dan cepat tersinggung. Ya, dia maklumi karena keadaannya berbeda.

"Kamu bisa diam nggak? Jangan buat mamah marah sama kamu," gertaknya.

"Mamah marahin kakak?" tanya Mike mulai ketakutan.

"Nggak, Sayang. Mamah nggak marahin kakak. Cuma kesel aja," jawabnya.

"Kalau mamah kesel sama Kak Aqila, mamah juga harus kesel juga sama Mike. Aku nggak mau cuma Kak Aqila yang dimarahi," ucap Mike yang membuat Aqila tersentuh.

"Nggak papa, Mike. Kakak nggak papa kok."

"Udah dramanya. Mamah lanjut nyetir," tukas Maria.

Semua perasaan Aqila campur aduk. Sekejap, rasa tidak suka sedikit demi sedikit mulai masuk di hatinya. Mungkin karena dia tahu satu kebenaran yang membuatnya terpukul. Biarpun mamah mulai peduli dengannya walaupun hanya menjemput pulang, rasa itu lebih mendominasi. Rasa ingin pergi dan membenci tapi Aqila tidak bisa melakukannya.

Lama dalam perjalanan pulang, mereka sampai di kediaman Bi Ningsih. Sudah ada Papah di sana tengah mengobrol bersama dengan paman dan bibi. Senyum sumringah paman dan bibi terlihat saat melihat keponakannya pulang bersama Mike, adik Aqila. Beda jika biasanya Aqila segera memeluk paman dan bibi, kini Aqila segera masuk ke dalam kamarnya bersama Mike.

"Sopankah, kalau ada orang tua langsung melengos begitu saja?" Papah beranjak dari tempat duduk dan menatap nyalang ke arah anak gadisnya. "Di mana attitude kamu, Nak?" tanyanya lagi.

Pertama kali, Aqila mendengar ayahnya memanggilnya 'Nak'. Hatinya kini kembali bergelut dengan otaknya. Hampir saja Aqila menumpahkan air matanya jika saja tidak ada wajah Mike yang tengah menatapnya dari bawah dengan tatapan polos. Mike adalah salah satu sumber kekuatan jika dia tengah lemah dan butuh luapan emosi.

"Maaf, Pah. Aqila memang nggak ada attitude. Tapi, maaf jika Aqila lancang bertanya ini sama kalian, khususnya mamah sama papah."

Semua hening menunggu Aqila berkata lagi.

"Sampai kapan, mamah sama papah sembunyikan kebenaran pahit lagi? Apa Aqila masih terlalu kecil buat tahu semua?" tanyanya tanpa berbalik menatap keluarganya.

Maria dan suaminya langsung membelalakan matanya sambil menatap paman dan bibi bergantian. Mereka tentu saja terkejut mendengar penuturan Aqila barusan. Apakah saatnya semua kebohongan akan terbongkar? Bahkan, mereka tidak tahu darimana Aqila tahu semua itu.

"Aqila, kamu...."

"Aqila permisi dulu ke kamar. Aqila capek. Yuk, Mike kita ke kamar. Kamu pasti kangen 'kan sama Kak Aqila," ucapnya menggendong Mike.


********
TBC

Vote sama komen jangan lupa ya!!!









CONVENIENCE (Kenyamanan)Where stories live. Discover now