[60] Obrolan Singkat

56 23 69
                                    

Happy reading
.
.
.
.

Hari demi hari telah berlalu. Sudah cukup lama gadis bermarga Altair itu berada di pondok orang lain. Ia mulai terbiasa dan mulai beradaptasi dengan aktivitas dan lingkungan yang ada di sana walaupun tidak bisa berbohong jika pondok pesantren milik umi dan abinya lah yang selalu dia rindukan dan tempat ternyaman baginya.

Jarang sekali ada keramaian di pondok tempat teman umi dan abinya. Entah ada acara apa, saat ini pondok tersebut terdengar begitu keras dengan tabuhan dan juga nyanyian dari para vokal hadroh. Aqila mengernyitkan dahi. Dihampirinya masjid tempat para santri biasa mengaji dan berbagai aktivitas lain.

"Tumben masjid ramai banget? Biasanya ramai kalau ba'da subuh sama maghrib sampai malam. Itupun karena mereka mengaji. Apa gue ke sana aja ya?" ucapnya pada diri sendiri.

"Iyalah ke sana aja. Ada apa ya?" Aqila melangkahkan kakinya menuju masjid untuk mengetahui kebisingan yang terjadi. "Pantesan ramai banget. Ini lagi pada latihan hadroh toh," ucapnya.

Gadis dengan khimar warna dusty itu duduk di samping seorang santriwati yang tampak bengong dan bingung. Aqila heran karena dia hanya menatap rebana di pangkuannya. Saat ingin mengeluarkan suaranya untuk bertanya, terdengarlah bunyi tabuhan yang cukup kacau. Tidak ada yang mengajari mereka sama sekali.

"Berhenti sebentar," ucapnya agak keras bahkan sampai membuat seorang santriwati di sampingnya terperanjat.

Aqila menatap mereka satu persatu, kemudian ia menghela napas. "Sebelumnya saya mohon maaf sudah menghentikan kalian berlatih. Tapi, apa enggak ada yang melatih kalian untuk ini?" tanya Aqila.

"Sebelumnya ada, Mbak. Tapi sekarang yang latih udah berhenti dari seminggu kemarin. Padahal kami belum bisa," ucap salah satu dari mereka.

Pantesan tadi suaranya kacau banget. Enggak ada yang latih, batin Aqila iba.

"Ini kita lagi belajar tapi sebisanya. Sebab enggak tau harus gimana lagi."

"Ya Allah. Sebelumnya saya mau tanya. Ini hadroh buat tampil kapan?" tanya Aqila.

"Minggu depan, Mbak."

Aqila terkejut sekaligus iba. Dia melihat mereka seperti grup hadroh yang terbengkalai karena tidak ada yang melatih. Rasanya Aqila ingin menegur pelatihnya yang sudah meninggalkan tanggung jawab begitu saja. Sangat tidak baik.

Aqila tampak mengambil satu rebana yang tergeletak. Dia begitu prihatin saat melihat rebana tersebut sudah kendur. Apa segitu tidak terurusnya hingga benda yang harusnya sudah diganti pun dibiarkan begitu saja. Aqila menjadi heran, pondok pesantren ini sudah berdiri dari kapan. Banyak fasilitas yang menurutnya masih kurang.

"Sekarang, kalian cek rebana dan alat hadroh lain ya. Masih layak pakai apa enggak. Kalau kiranya masih layak letakkan di sebelah sana. Kalau yang udah enggak layak, letakan di kardus ini," ucapnya meletakkan sebuah kardus.

Banyak sekali yang masuk dalam kardus itu. Tak ada satu pun yang tersisa kecuali beduk dan darbuka. Aqila begitu iba melihatnya sehingga meminta satu dua orang untuk membantu mengangkat kardus besar yang berisi rebana tak layak.

"Kamu minta teman-teman kamu buat belajar dulu dasar-dasar rumus hadroh ya. Apa ada yang bawa hp?" tanya Aqila.

"Hp dikumpulkan semuanya, Mbak. Dikumpulkannya ke Gus Hafiz."

CONVENIENCE (Kenyamanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang