[20] Semua Bukan Mainan

72 44 157
                                    

Happy reading
.
.
.
.

"Lo ngapain ke sini?" tanya Aqila.

Jam menunjukkan pukul 19.00 dan tiba-tiba ada Devan datang ke rumahnya. Aqila yang saat itu ingin mengambil buku sejarah terhenti saat melihat papah mengobrol dengan Devan.

Mike sudah tidur setelah Aqila temani mengerjakan tugas. Mamah dan papahnya sudah masuk ke kamar dan membiarkannya berbicara bersama Devan. Memang kesannya gila. Bagaimana bisa orang tua membiarkan anak gadisnya berbicara berdua pada malam hari dengan cowok.

"Ya, nggak papa. Emangnya nggak boleh main?"

"Lo tahu dari mana rumah gue? Kok bisa sampai sini sih? Harusnya, lo itu mikir. Ya masa cowok main ke rumah cewek malam-malam? Tau fitnah nggak sih?" tanya Aqila sewot.

Devan diam dan hanya menatap Aqila tanpa mengindahkan pernyataan gadis di depannya. Sebenarnya, ada maksud lain dia datang ke sini. Devan hanya ingin bertemu dengan Aqila dan bertanya kenapa gadis itu seolah sangat membencinya. Sudah lama dia tidak melihat Aqila.

Kondisi Aqila saat ini tidak baik-baik saja, karena ditatap Devan seperti itu. Tingkah laku Devan, membuat Aqila menaruh pandangan yang berbeda padanya. Aqila takut. Bukan seperti itu, maksudnya saat ini adalah malam hari sementara mamah dan papahnya sudah tidur bersama Mike. Bukannya wajar, jika Aqila takut.

"Aqila," panggilnya. Bulu kuduk Aqila berdiri saat mendengar namanya keluar dari mulut Devan, dengan suara yang berat. "Apa?" tanya Aqila berusaha baik-baik saja.

"Lo kenapa sih? Kayak yang gue lihat, lo sebel banget sama gue. Sebenernya, gue ada salah apa sama lo?" tanya Devan.

Benar juga. Aqila tidak tahu kenapa dia kesal dan marah pada Devan. Sambil menyiapkan kata apa yang akan dia keluarkan, Aqila menggoyangkan kakinya dan mengingat apa yang dia lakukan beberapa hari lalu.

Aqila mengerjapkan matanya saat mengingat apa yang membuatnya seperti itu. Mata tajamnya dia tunjukkan pada Devan dan membuat si empunya terkejut dan ikut mengerjapkan matanya bingung.

"Iya, gue inget. Lo nggak sadar ya, Dev?"

"Sadar apa? Gue nggak tau apa-apa."

Aqila terkekeh pelan. "Alah, nggak usah berlagak bego. Lo kenal Nara?" tanya Aqila. Devan menegakkan tubuhnya dan dia tampak gugup.

"Udah nggak usah pasang muka kayak gitu. Lo harusnya tahu kalau Nara itu cewek baik-baik. Nggak gampang bisa bikin takluk dia sama omongan gila lo. Nggak bakal bisa."

"Maksud lo apa, hah? Kenapa lo seolah-olah nuduh gue buat mainin dia? Nggak ada urusannya, Aqila." Devan terlihat emosi saat Aqila seperti itu. Dia bingung ada kaitan apa antara Nara dan Aqila. "Lo kalau nggak tahu jangan asal tuduh. Niat gue ke sini padahal mau bilang hal penting sama lo, Aqila."

"Sekarang gue tanya sama lo. Hal penting apa sih yang bikin lo ke sini? Nggak ada, Dev. Dalam kamus hidup gue, nggak ada hal penting yang bisa dilakuin sama cowok kayak lo, kecuali..."

"Apa? Kecuali apa, hah?

"Kecuali modal basa-basi sama modus buaya."

"Maksud lo apa, hah? Jangan sampai lo bikin gue marah. Lo jangan asal nuduh gitu, ya. Gue tulus, bego. Gue suka sama lo. Belakangan ini, gue nggak lihat lo itu gue ketar-ketir. Kenapa lo anggap gue kayak gitu?" tanya Devan dengan nada sedikit emosi.

"Lo harusnya sadar, Devan. Sasaran cewek kayak Nara, buat lo jadiin bahan baperin orang itu salah. Lo berusaha deketin dia, kan? Bahkan lo sampai maksa Nara supaya terima lo. Dia setres mikir itu."

Devan membelalakan matanya. Sejauh ini, tidak ada yang tahu sikapnya ke semua cewek itu gimana. Sebenarnya, apa hubungan Nara dan Aqila? Bagaimana bisa, Aqila tahu jika dia ingin menjadikan Nara itu mainan. Tapi, jika boleh jujur, Devan melakukan ini karena dia bosan.

"Lo, gimana...."

"Bingung, kan? Asal lo tau ya, Dev. Gue sama Nara temen dekat. Jadi, nggak usah tanya kenapa gue bisa tau sikap busuk lo." Aqila bersiap berdiri untuk mengusir Devan.

"Tapi, Aqila..." Devan menghela napas, "iya kalau sama dia emang gitu tapi kalau sama lo itu gue serius. Gue beneran tulus."

"Devan...Devan..." Aqila menggeleng lemah dan menatap ke arah Devan,  " kayaknya gue beruntung sebab bisa  lepas dari cowok kayak lo. Pernah mikir nggak sih, apa jadinya kalau gue sama lo. Bukan bahagia tapi justru sengsara. Apalagi ini ada kaitannya sama sahabat sendiri."

"Tapi, gue nggak bermaksud."

"Hampir saja gue dibuat terpana sama sikap lo. Tapi, keberuntungan lagi mihak gue dengan ngirim teman kayak Nara. Karenanya, gue tau lo itu cowok kayak gimana."

Devan menunduk dengan raut menyesal. Mungkin, ini adalah balasan yang luar biasa untuknya yang suka bermain cewek. Sekarang, saat dia benar-benar mendapatkan gadis yang cocok, semua hanya angin lalu. Perasaannya tidak terbalaskan. Justru, malah menimbulkan rasa benci dan kecewa pada Aqila, gadis yang dengan tulus dia sukai.

"Oke, gue akui kalau gue salah. Tapi, lo nggak ngasih kesempatan gue berubah?"

"Lo siapa sih? Kita itu orang asing. Iya, emang saling kenal tapi, gue minta sama lo jangan bersikap seolah lama deket, Dev. Liat sikap lo kayak gini, nggak mungkin gue bisa ubah. Perubahan itu datangnya dari diri sendiri. Jangan menunggu orang lain mengubah jika kita sendiri bisa melakukannya lebih," ucap Aqila.

"Tapi, gue..."

"Denger, Dev. Cewek emang kadang terlihat kuat dengan semua senyum atau wajah baik-baik saja. Tapi, harusnya lo itu tau kalau hatinya bisa berkata lain. Jawaban iya adalah jawaban tidak dalam hatinya. Cewek bukan mainan. Coba lo di posisi cewek terus ada cowok kayak lo yang hanya buat dia nyaman sekejap?"

Devan mengernyit bingung. "Memangnya Nara udah nyaman sama gue, ya?" tanyanya. Aqila mengambil napas panjang. "Bukan buat Nara. Tapi, gue mewakili semua cewek yang akan ngomong sama kalau tau sikap kayak lo. Sadar nggak sih, udah berapa banyak cewek yang lo sakitin? Nggak kebayang sih, gimana hancurnya. Jadi orang itu harus ada hati," ucap Aqila.

Devan dibuat bungkam dengan ucapan Aqila. Hatinya memang sakit karena mendapat penolakan sedalam itu oleh Aqila. Tapi, itu semua memang benar karena semua berawal dari sikap fuckboy yang dia miliki.

"Gue nggak ada kesempatan ya? Aqila..."

"Nggak bakal. Gue nggak mau sama lo. Mendingan lo pergi dari sini."

Devan pergi dari rumah Aqila dengan semua pikiran yang kacau. Ribuan ingatan terlintas di otaknya. Mengingat bagaimana dia menyakiti banyak gadis yang pernah dijadikan sasaran saat bosan.

"Nara, asal lo tau. Gue capek malam ini. Nggak bisa bayangin kalau lo ada di sini. Nah, kan jadi males ngerjain tugas. Bodoamat lah. Mending tidur," ucap Aqila dan masuk ke kamar.

..........
TBC

CONVENIENCE (Kenyamanan)Where stories live. Discover now