[21] Seriusan?

30 12 1
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.

Sudah dihitung sekitar satu minggu pasca kejadian ketika Devan ke rumah Aqila. Sampai saat ini, Aqila tidak lagi bertemu dengan Devan. Jika biasanya pria itu selalu lewat di depan kelasnya, sudah seminggu ini Devan tidak kelihatan batang hidungnya, seperti ditelan bumi.

"Tumben nggak lewat? Tapi, ngapain juga sih nyariin orang kek dia?" gumam Aqila dan kembali melihat konten tik-tok di ponselnya.

Bising. Hal yang bisa menggambarkan bagaimana situasi kelasnya. Kadang, Aqila heran kenapa walaupun didominasi perempuan, mereka jauh lebih bising dibandingkan dengan kelas sebelah yang isinya didominasi laki-laki.

Ketiga sahabat anehnya belum datang sampai sekarang. Biasanya saja, Aqila adalah satu di antara ketiga temannya yang berangkat paling siang. Boleh tidak, jika Aqila bilang semua sudah terbalik?

"Tau gini, mending gue tidur lagi. Gabut banget nggak ada mereka. Kalau gini aja gue kayak orang mati, gimana kalau misal nanti kelas 12 dipisah kelas? Gue ama siapa?" Aqila menaruh telapak tangannya untuk menyangga dagunya sembari membayangkan beberapa pikiran kacau. "Mah, mau pulang. Kangen Mike," ucapnya sembari menenggelamkan wajahnya di tumpukan lengan.

"Halo, ahli kubur!!!" Talita datang diikuti oleh Alinda dan Nara. "Kusut amat tuh muka? Belum dicuci ya, Wak?" tanyanya bercanda.

"Datang juga lo pada. Bentar, kok kalian bisa barengan gitu? Wah, nggak bener ini. Curang banget sih, janjian nggak ngajak-ngajak. Sedih dedek," ucap Aqila memelas.

"Huwek....huwek..." Aqila menatap ke arah Talita diikuti Alinda dan Nara. "Lo kenapa, Talita? Lo hamil? Tidak, temen gue nggak suci," ucap Aqila dibuat-buat.

"Mulutnya dijaga, anjir. Gue gini, gara-gara omongan lo. Jijik tau, nggak?"

"Emangnya, gue ngomong apa? Kan, gue baru datang. Lo jangan aneh, deh."

Nara hanya diam menanggapinya. Kadang, dia merasa yang waras hanyalah dia seorang. Tapi, memang benar. Alinda sudah tertawa karena hiburan receh dari Talita dan Aqila untuk mengawali pagi ini.

"Linda, sejak kapan Aqila jadi anemia?" tanya Talita. "Anemia gimana? Aqila lupa tadi sebab insomnia, bego," ucap Alinda.

"Sumpah, nggak ada yang waras. Amnesia, ege. Amnesia. Apaan insomnia sama Anemia?" ucap Nara dan beranjak ke tempat duduknya.

Talita menatap berbinar ke arah Nara. Alinda dan Aqila sudah duduk dan ikut melihat apa yang akan dilakukan Talita lagi. "Masyaallah, Nara. Gue bangga sama lo. Akhirnya, didikan gue ampuh." Talita duduk dan terharu melihat yang Nara lakukan. "Apaan? Didikan lo itu sesat. Kapan gue jadi murid lo, sih? Perasaan nggak pernah, deh?" ucap Nara membuat Alinda dan Aqila tertawa.

"Yaelah, serius amat lo. Nggak bisa gitu, bikin temen seneng dikit? Ih sumpah, omongan lo tajam amat. Kan lo lemot?" tanya Talita heran.

"Buset, mulutnya. Gue biarpun lemot kalau soal gitu, tapi kalau soal pelajaran nggak."

Oke, tertampar kenyataan. Ucapan Nara membuat Aqila skakmat. Gadis itu menyikut lengan Alinda dan mungkin karena telepati, hal itu menyalur ke arah Talita.

"Bukan maen. Kita diam," ucap Aqila.

"Omongannya sangat lembut plus-plus halus. Gue bangga deh, sama Nara." Alinda meringis garing.

CONVENIENCE (Kenyamanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang