[14] Mereka Berbicara

28 25 4
                                    

Assalamu'alaikum semuanya....
Vote sama komennya ya
Hope you enjoy it....
.
.
.

Di dalam kamar sana, Aqila hanya bermain dengan Mike untuk melepas rindu yang sudah lama dia pendam. Mike kini tengah duduk di pangkuannya, sembari bermain game di ponsel Aqila. Tatapan gadis itu lurus ke jendela kamar, dengan pandangan kosong. Berusaha untuk baik-baik saja, sangat sulit apalagi saat ini, ada Mike. Dia tidak mau adik kesayangannya ikut bersedih dan khawatir.

"Kak Aqila nangis, ya?" tanya Mike.

"Enggak, kok. Kakak nggak nangis. Sok tahu kamu, dasar bocil," ucapnya mengunyel pipi gembul Mike. "Kok tanya gitu? Kenapa?" tanyanya.

"Kakak nggak usah bohong sama Mike. Aku bisa rasain tadi ada air yang menetes di kepala Mike. Walaupun Mike lagi bermain game, tapi Mike tau kalau kakak nangis," jawab anak itu sambil membalikan posisinya. "Kenapa sih, Kak? Mike nakal, ya?" tanyanya polos.

"Nggak nakal. Mike itu lucu. Tadi yang jatuh itu air dari atas kali. Biasanya kalau hujan suka rada merembes."

"Emangnya hujan? Orang cerah gini, kok. Udah, jangan bohong. Nanti Mike marah sama Kak Aqila." Mike memanyunkan bibirnya mulai merajuk.

"Iya-iya, Kakak nangis. Tapi, cuma capek doang. Mike tau, nggak? Tugasnya numpuk banget. Capek kalau tiap hari ngerjain mulu," alibi gadis itu.

"Mau Mike bantuin kerjakan? Sini, Kak."

"Jangan sok kamu. Ini pelajaran kelas 11. Kamu kelas berapa emangnya?"

"Iya, maksudnya Mike bantuin doa Kak. Hehe," jawabnya.

Aqila menggelitik tubuh adiknya. Tawa Mike menghiasi kamar Aqila yang biasa sunyi dan hanya ada suara musik jika dia sedang mendengarkan atau menyanyi sebuah lagu. Candaan mereka sangat lama hingga Mike tertidur di atas kasur milik Aqila karena lelah.

"Maafin kakak, ya. Mike terlalu baik untuk Kak Aqila ceritakan. Kakak cuma nggak mau nanti Mike malahan sedih," gumamnya menatap wajah polos Mike yang tertidur.

Suara gedoran pintu terdengar dari arah pintu. Aqila membuka pintu itu dan menemukan Bi Ningsih tersenyum di wajah cantik yang terlihat mulai berbeda. Memastikan suara pintu tidak membuat Mike bangun, Aqila menutup pintu pelan sembari menatap wajah teduh bibi.

Kontak mata kian terjadi di antara kedua orang itu. Senyum paksa, terlihat jelas di wajah Aqila dengan mata yang terdapat sedikit air mata di ujungnya. Tangan lembut bibi terulur untuk mengusap kepala Aqila yang masih terbungkus dengan jilbab sekolah.

"Yuk, ke ruang tamu. Mamah sama papah mau bicara sama kamu," ucapnya. Nada suaranya terdengar berbeda dari biasanya. "Saran bibi, apa pun yang nanti mereka katakan sama kamu, Aqila harus kuat dan sabar. Tenang, ada bibi sama paman, Nak."

Jantung Aqila berpacu cepat secara tiba-tiba. Tubuhnya mendadak kaku dan sulit beranjak. Aqila meremas ujung jilbabnya sambil menunduk dan berusaha menahan air mata tumpah sebelum saatnya. Bibi tahu apa yang Aqila rasakan. Sebelum dia membawa keponakannya menemui orang tuanya, Bi Ningsih membawa Aqila dalam dekapan hangatnya.

"Yuk, Bi. Aqila nggak papa. Kalau kelamaan di sini, nanti Mike kebangun."

"Kamu nggak papa? Kalau nggak dalam keadaan baik, mendingan jangan sekarang ngobrolnya. Bibi akan suruh mereka pulang," ucapnya ragu dengan respons Aqila.

"Perkara kebenaran, nggak baik ditunda-tunda. Sekarang aja, Bi. Aqila sudah siap dengan perlakuan mereka."

Dengan menghela napas, kedua perempuan itu berjalan menuju ruang tamu. Jujur, Aqila merasa enggan untuk menemui mereka, namun ini sudah saatnya dia tahu. Akan fatal jika mereka tetap menundanya dan Aqila akan semakin penasaran dan berakibat buruk nantinya.

CONVENIENCE (Kenyamanan)Där berättelser lever. Upptäck nu