[48] Pengambilan Raport

56 26 112
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.
.

Dingin malam nyatanya sangat mendukung untuk gambaran bagaimana kondisi yang dirasakan oleh seorang gadis yang saat ini duduk melamun di balkon kamar bersama dengan hembusan angin. Saat menegangkan akan dia lalui hari esok. Entah bagaimana hasil yang selama dua minggu itu dia lalui dengan semua keterpaksaan.

Putaran kenop pintu kamar membuat dia terkejut dan membalikkan tubuhnya segera. Malam ini, dia izin untuk tidur di dalem tidak di asrama bersama Talita dan kawan-kawannya. Tentunya dengan alasan yang tidak begitu saja. Malam ini dia butuh ketenangan dari umi atau abi.

"Nak, kamu belum tidur?" tanya umi.

"Nggak bisa, Um. Aqila takut besok gimana. Kalau Aqila bikin kecewa umi sama abi gimana dong. Umi, Aqila bukan Nara yang udah jelas bisa jadi juara pertama di kelas."

Sebagai seorang ibu, Rahma tentu memahami bagaimana resahnya Aqila. Dulu, dia pernah ada dalam posisi itu. Umi segera duduk di kursi balkon dengan mendekap putrinya. Tubuh Aqila nyatanya sangat dingin.

"Aqila, denger umi ya. Di dunia, hidup nggak melulu soal nilai. Setinggi apa pun, sebagus apa pun nilai seseorang itu nggak bisa dijadikan patokan dan jaminan. Allah menciptakan akal pada manusia sudah sesuai dengan kadar masing-masing. Umi sama abi nggak nuntut kamu buat bisa kayak Nara atau temen kamu yang lain."

"Tapi, Umi. Aqila yakin di hati umi sama abi pasti ada keinginan untuk gitu, kan?"

"Nggak ada orang tua yang nggak mau anaknya pinter. Tapi umi sama abi nggak maksa, Sayang. Kamu tau nggak?"

"Apa, Um?"

"Allah nggak lihat gimana hasil setiap makhluk-Nya dalam meraih sebuah tujuan. Karena pada dasarnya Dia yang memberikan hasil itu padanya. Tetapi kamu tau, Nak. Allah melihat bagaimana ikhtiar dan doa mereka. Kamu udah berusaha, Sayang," ucap umi mencium kening Aqila.

"Makasih, Umi. Maafin Aqila kalau belum bisa bikin sesuatu yang bikin kalian bangga dan bahagia."

"Hadirmu saja di dunia ini, adalah suatu kebahagiaan dan nikmat luar biasa. Jangan bilang gitu ya. Udah, sekarang kamu tidur aja," ucap umi.

"Pengin sama umi tidurnya."

"Sayang, umi udah ada abi. Tapi kalau kamu pengin tidur sama umi, nanti umi izin ke abi dulu ya," ucap umi.

"Oke, Um. Aqila tunggu ya," ucap Aqila bahagia.

Lama menunggu, umi tak kunjung datang. Aqila sendiri. Kesabarannya saat ini masih ada untuk menunggu kepastian dari umi hingga tak lama setelah itu, dering ponsel terdengar dari nakas dekat ranjang. Aqila mengambil itu dan segera mengangkat panggilan dari umi.

Sudah dia duga. Umi tidak bisa menemaninya tidur. Mungkin saat ini abi juga sedang ingin bersama umi. Malam ini di bawah gemuruh rasa khawatir akan hari esok, gadis itu berusaha menetralkan detak jantung dan sebisa mungkin membuat matanya terpejam. Sulit memang, hingga ada sebuah notifikasi dari ponselnya.

Abian
| Assalamu'alaikum, Aqila...
| Lo belum tidur kah?

Sebuah senyum kecil terpapar jelas di wajah cantiknya yang saat ini tertutup oleh rambut hitam indahnya. Ucapan umi cukup mengena tadi. Mungkin dengan Abian yang menemaninya malam ini walaupun sebentar, akan membuatnya lebih tenang.
Iya, gue belum tidur. Nggak bisa

CONVENIENCE (Kenyamanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang