[41] Diam untuk Merindu

32 19 72
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.
.

Tidak ada yang bisa melunturkan senyum Aqila hari ini. Bahagia itu memang sudah dia tunggu dan harapkan. Kadar bahagia yang sedang bagus dan tinggi hari ini bisa membuat anak-anak kecil yang melihatnya bingung saat di jalan. Setiap anak kecil yang dia temui selalu dia peluk dan tak lupa pula senyuman manis yang tetap mengembang.

Rahma hanya bisa menggeleng melihat tingkah putri yang sudah lama dia tunggu kembalinya. Wanita itu menjadi sosok yang lebih hangat. Semua curahan kasih sayang dia berikan sebagai tumpahan gelora rindu yang sudah dari dulu dia nantikan.

"Aqila, jangan terlalu bahagia gitu. Kamu harus ingat sama Allah, Nak. Bisa-bisa hari ini kamu bahagia tapi tidak tau besok," ujarnya saat berada di samping Aqila. "Kasihan setiap anak kecil kamu gituin. Mereka jadi takut," lanjutnya.

"Maaf, Umi. Aqila terlalu senang. Aqila sudah nggak terbebani dengan perjodohan itu. Akhirnya, mama sama papa bisa mengerti juga," ucapnya senang.

Benar. Perihal perjodohan itu, Mansyur dan Maria sudah memutuskan untuk dibatalkan. Abian dan Aqila saat itu yang berada tepat di dekat Devan, Mansyur, dan Maria sangatlah bahagia namun sebisa mungkin mereka tahan.

Dibatalkannya perjodohan itu, Rahma dan suaminya berharap jika tak ada lagi tangis Aqila. Tak ada lagi wajah kosong Aqila yang terus-menerus memikirkan soal perjodohan itu. Melihat Aqila bisa bahagia adalah hal yang mereka inginkan.

"Ingat, Nak. Ini sudah menjadi bagian takdirmu. Bersyukurlah pada Allah karena-Nya kamu bisa menentukan pilihan yang kau harapkan. Tapi Nak, jika suatu saat nanti Allah mengujimu lagi, maka ikhlas dan ridho ya. Umi yakin dan kamu harus yakin juga kalau itu yang terbaik."

"Siap, Umi. Aqila akan ingat apa yang umi katakan," ucapnya.

Sebahagia ini saat bisa terlepas dengan semua beban soal perjodohan. Tapi, gue harus ingat sama Allah. Karena nggak tau selanjutnya gimana, batin Aqila senang.

Aqila melanjutkan perjalananya menuju pondok pesantren. Sesampainya di sana, semua santri dan satriwan sedang mengaji di masjid. Aqila bingung bagaimana bertingkah di hadapan mereka. Rahma sudah masuk ke dalam. Biarpun Aqila adalah anak darinya, Rahma juga tegas pada Aqila supaya tidak semena-mena. Rahma meminta Aqila juga mengaji dan melakukan kegiatan lain layaknya santri-santri di situ.

"Ya Allah, harus ngapain ini? Nggak ada yang aku kenal di sini. Kalau aja Talita masih di sini," gumamnya sembari mendengarkan abinya mengajar.

"Baiklah, sampai di sini dulu. Sebelum Abi tutup, mari kita baca doa dulu bersama."

Mereka mematuhi apa yang abi katakan. Aqila ikut seperti itu dan kemudian setelah selesai, Aqila ikut bangkit bersama yang lain dan menyalami tangan abinya.

Rasanya Aqila masih tidak menyangka jika dia adalah anak dari seorang pemilik pesantren. Teringat betapa nakal dan terbukanya Aqila dulu sebelum pindah dari Palembang. Jika mengingatnya, Aqila merasa malu. Kalau saja Maria dan Mansyur tidak mengirim Aqila ke pesantren ini, mungkin Aqila akan begitu seterusnya. Sedih, kecewa, dan lain-lain.

"Abi, kok ngajinya udahan? Aqila baru sampai padahal," ucap Aqila.

"Kamu tadi keluar sama umi lama banget. Jadinya ketinggalan materi," jawab Abi sambil mengusap kepala Aqila yang tertutup jilbab. "Nggak papa, besok bakal abi ulang lagi materinya," ucapnya.

CONVENIENCE (Kenyamanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang