[18] Kehidupan Baru

24 17 0
                                    

*********

"Aqila, ini mamah kamu mau ngomong."

"Ngomong? Kayaknya nggak deh, Bi. Palingan mau marahin aku," ucap Aqila.

"Aqila, temui dulu. Kasihan sudah nungguin kamu," ucap bibi.

"Kasihan? Apa mereka juga kasihan sama aku?" tanya Aqila.

Entahlah, terakhir berbicara adalah saat dia membongkar semuanya di depan mamah dan papah. Semenjak itu, biarpun ada notifikasi dari ponselnya, tidak pernah dia lihat kecuali dari teman-temannya yang bobrok.

"Aqila, biarpun kamu udah tau kamu nggak boleh gitu. Coba, kalau nggak ada mamah sama papah kamu mungkin kamu udah nggak tau gimana? Kamu nggak akan pernah ketemu sama paman, bibi, atau Galih. Juga teman-teman kamu."

Benar. Walaupun dia pasti sedang bersama ibu kandungnya, belum tentu Aqila bisa bertemu dengan teman-teman ataupun bibi yang sudah sangat dia sayangi. Aqila memejamkan matanya sekejap dan menghela napas. Langkah kakinya membawa gadis itu menemui mamah dan papahnya.

Di sinilah dia berada. Ruang tamu yang tidak begitu besar namun, nyaman jika digunakan untuk berkumpul bersama. Suasana hening menyelimuti sebuah keluarga yang tidak sedarah itu. Aqila menunduk dan tidak menatap mamah dan papahnya.

"Aqila," panggil mamah dengan suara sedikit purau, entah itu benar atau tidak Aqila bisa menyadarinya. "Aqila, mamah mau bilang sesuatu sama kamu, bolehkan?" tanya Maria.

"Sejak kapan mamah minta izin sama Aqila kalau mau ngomong?" Satu pertanyaan yang berhasil membuat Maria meneguk ludahnya kasar. "Ngomong aja, Mah."

"Kamu kenapa berubah? Mamah ada salah?"

Aqila tersenyum miring mendengar penuturan yang menurutnya tidak perlu untuk ditanyakan atau dijawab. Selama ini, apa yang Maria lakukan mungkin tidak pernah disadarinya.

"Perlu aku jawab?" tanya Aqila.

Papah Aqila hanya diam menunduk. Pria itu tahu jika pertanyaan yang barusan dikatakan oleh istrinya sangat terdengar aneh. Tatapannya berubah sendu saat melihat Ningsih, tersenyum simpul di belakang tubuh Aqila.

"Aqila, mamah minta maaf sama kamu. Selama ini, mamah egois dan selalu bertindak tidak adil sama kamu. Maafin, mamah."

Sirat kesedihan sangat jelas terpancar di kedua mata Aqila. Dia pikir mamahnya terlalu terlambat untuk mengatakan semua itu. Jujur, hatinya mulai beku untuk mendengar semua itu. Sikap mamahnya sudah membuatnya sulit untuk bisa bersikap hangat kepadanya. Dampak yang ditimbulkan sangat besar untuk hati dan mentalnya.

"Kenapa baru sekarang, Mah? Aqila memang sudah bisa menerima mamah tanpa mamah harus bilang begitu. Tetapi, kenapa mamah harus bilang? Justru hal itu, membuat aku kalah, Mah."

"Mamah tau. Tapi, mamah nggak mau kamu pergi. Ternyata, mamah terlambat menyadari. Mamah sayang sama kamu. Dulu, mamah masih tertutup sama selaput ego, Sayang."

Aqila menangis mulai tidak terkontrol. Bibi yang tahu akan bahaya, datang menghampiri Aqila dan memeluknya. Sementara, Maria dia menangis di pelukan suami dan terduduk di hadapan Aqila. Gadis itu sontak terkejut dan sengatan aneh muncul di hatinya.

"Mamah mungkin egois karena misahin kamu sama orang tua kamu. Tapi, gimana rasanya saat lama menikah tapi, tidak bisa menimang anak? Dulu, mamah sangat tertekan karena dorongan dan desakan dari orang tua mamah. Hati istri mana yang tidak sakit jika begitu, Nak?"

"Kenapa harus aku, Mah? Kenapa, mamah ambil kebahagiaan Aqila?" isaknya.

"Jangan tinggalin mamah, Nak. Mamah nggak mau pisah sama kamu. Mamah sayang sama kamu. Jangan buat mamah kayak dulu," mohonnya seraya memegang lutut Aqila.

"Mah, cukup. Jangan kayak gini. Jangan buat diri mamah jadi rendah di hadapan anak mamah sendiri." Maria sontak menatap Aqila dengan air mata yang bercucuran.

"Maksud kamu?" tanya Maria.

"Ya, mungkin kecewa iya, Mah. Tapi, cuma kecewa aja nggak bisa bikin semua berubah. Aqila sudah maafin mamah. Tapi, Aqila minta satu hal sama mamah. Boleh, kan?"

"Apa pun, Nak. Asalkan maaf mamah diterima," ucap Maria.

"Kalau waktunya udah tiba, mamah jangan larang aku buat ketemu siapa orang tua kandung Aqila. Mah, nggak ada anak yang mau berpisah sama orang tuanya," ucap Aqila.

"Iya, mamah tau. Mamah akan beri kebebasan untuk itu. Sekarang, mamah sama papah nggak akan kekang kamu kayak dulu. Mamah sama papah akan berusaha dukung semua yang kamu lakukan. Tapi, boleh nggak mengingatkan?"

"Iya, Mah. Boleh banget. Itu tugas mamah sama papah, kan?"

Mereka berpelukan satu sama lain. Bibi yang melihat hal itu, sontak tersenyum haru. Dia ditarik oleh Aqila agar ikut berpelukan. Ini yang Aqila nantikan. Sebuah pelukan dan kebersamaan tanpa ada paksaan atau sandiwara.

"Makasih, Mah, Pah sudah mau jaga Aqila sampai sekarang," ucapnya.

"Kamu mau pulang ke Palembang, nggak?" tanya papah.

"Pah, itu..."

"Tidak papa, kok. Mamah sama papah juga ada rumah di sini," ucap mamah.

"Baiklah, Aqila sini aja dulu. Oh iya, soal keluarga besar kita gimana, Pah?" Semua diam. Tahu betul apa yang membuat anak gadisnya seperti itu. Kejadian sebelum Aqila ada di pesantren. Saat semua orang menganggapnya berbeda. "Iya, Aqila paham. Nggak papa, yang penting mamah sama papah udah mau terima Aqila," lanjutnya.

"Maafin mamah, Nak. Ini semua karena sikap mamah," ucap Maria.

"Udah, nggak papa. Perlahan, akan sadar kok. Aqila baik-baik saja."

"Nak, kenapa kamu kuat banget? Papah minta maaf karena nggak bisa buat kamu bahagia. Papah dulu, masih kayak mamahmu."

"Udah, lupain aja. Ini akan jadi awal kehidupan baru Aqila. Setelah lama menunggu, akhirnya Aqila tuh bisa rasain gimana kasih sayang tulus dari orang tua. Terima kasih," ucapnya.

Penderitaan Aqila mungkin akan berakhir. Boleh tidak, jika dia berharap seperti itu?

*****
TBC

CONVENIENCE (Kenyamanan)Where stories live. Discover now