[9] Masa Lalu

48 36 12
                                    

"Iya terus kenapa, Mah? Aqila butuh penjelasan kenapa mamah nggak bolehin Aqila di pesantren."

Bukan sebuah kehangatan ataupun keharmonisan keluarga yang Aqila impikan. Mamah dan papahnya memang ada di rumah bibi. Awal melihatnya, Aqila pikir mereka akan menemuinya karena rindu, tetapi itu salah. Mamah dan papahnya ke rumah bibi karena ada sesuatu yang tertinggal. Aqila dan orang tuanya bisa berbicara karena bibi yang tahu jika Aqila sangat merindukan keduanya.

Masih menjadi bayangan dan tanda tanya besar, soal mengapa mamah sangat kekeh untuk memindahkan Aqila dari Pesantren Al-Karim. Rasa penasaran itu, muncul saat mamah menunjukkan wajah terkejut dan khawatir. Sikap mamah saat itu juga berbeda. Tanpa memedulikan anaknya, mamah justru bersiap untuk pulang setelah mengambil barang yang tertinggal.

"Mah, jelasin ke Aqila dulu," ucapnya memohon.

"Itu sudah kejadian lalu. Sekarang, mamah minta kamu fokus aja sama sekolah kamu. Karena tidak ada gunanya kamu tahu. Itu nggak penting, Aqila."

"Fine, Mah. Itu menurut mamah. Menurut Aqila sangat penting, Mah."

"Sudahlah, Aqila. Mendingan kamu masuk. Ningsih, ajak Aqila ke kamarnya. Kita pergi dulu," ucap papah pada bibi.

Bibi memegang pundak Aqila dan menyuruhnya masuk ke dalam dengan cara mengerjapkan matanya sekilas. Sebelum masuk, Aqila menatap kedua orang tuanya. Bahkan, tak ada pelukan pisah yang mereka berikan pada dirinya. Entah sampai kapan, semua ini terjadi. Jika boleh meminta, Aqila ingin minta pada Allah SWT agar mamah dan papah sadar, ada dia yang butuh kasih sayangnya seperti teman-temannya.

"Bang Mansyur, apa sikap kamu sama Aqila sudah melampaui keterlaluan? Dia setiap hari cerita sama Ningsih, kalau dia itu pengin kayak teman-temannya. Berapa tahun Abang sudah gitu?" tanya bibi pada Mansyur.

"Tapi, Ningsih. Aqila beda dari kita berdua," sahut Maria.

"Iya aku tau, Mbak. Tapi, jangan gini. Bukannya, Mbak sendiri yang ambil Aqila saat itu karena tidak sabar punya anak? Sekarang, kenapa begitu? Jujur, aku sebagai bibinya khawatir kalau kelamaan begini, akan merusak mental Aqila. Dia sudah cukup umur untuk mengetahuinya."

Mansyur hanya diam mendengarkan percakapan istri dan adiknya. Sikap Maria yang seperti itu, turut membawanya juga bersikap sama dengan istrinya. Aqila tidak tau apa-apa. Aqila hanya seorang anak yang sengaja dibawa Maria karena saat itu, mereka belum memilki keturunan. Awalnya, Mansyur tidak menyetujuinya. Namun, melihat Maria yang ingin memiliki anak, akhirnya dia menyetujuinya. Sebenarnya, ada rasa kasihan pada Aqila, hanya saja egonya terlalu tinggi. Sampai sekarang, Mansyur sendiri tidak tahu Aqila anak siapa.

Flashback
Palembang, 24 November 2004

Sepasang suami istri, tengah menunggu di kursi tunggu untuk giliran cek up soal kesehatan istri. Terpapar jelas wajah khawatir sang istri yang tak hentinya melafalkan doa. Sudah bertahun-tahun, Maria dan Mansyur menikah tetapi masih belum diberi kepercayaan oleh-Nya untuk menggendong bayi. Kedua orang tua mereka sudah menanyakan berulang kali.

"Pah, aku takut kalau hasilnya negatif," ucapnya parau.

"Sayang, jangan begitu. Berdoa saja suatu saat akan dikaruniai seorang anak. Saat ini, Allah tengah menguji pernikahan dan kesabaran kita. Aku nggak masalah, kalau harus menunggu. Kita bisa lalui bersama-sama," ucapnya menenangkan.

"Aku tahu. Maafkan aku, karena tidak sabaran. Itu semua karena aku takut kalau kamu bakal nikah lagi. Terus tinggalin aku," jawabnya.

"Hey, jangan ngomong gitu. Nggak bakalan, sayang. Kita udah nikah berapa tahun, sih? Apa kamu pernah liat aku sama cewek lain?"

CONVENIENCE (Kenyamanan)Where stories live. Discover now