[65] Baikan Nih?

62 26 96
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.
.

Atmosfer ruangan yang dominan putih itu kini menjadi sangat hampa. Terbaring seorang laki-laki dengan wajah pucat dan bibir yang tidak lagi merah melainkan putih pucat. Aqila tak hentinya memandang iba dan ikut merasakan sakit di hatinya. Gadis yang sekarang menuju 19 tahun itu ikut merasakan nyeri dan sakit di sekujur tubuhnya. Dadanya sesak melihat pemandangan yang begitu mengerikan di hadapannya dengan air mata yang tak henti membanjiri setiap pori pipi tirusnya.

Ada apa dengan Abian? Kenapa pria yang dulu begitu kekar kian menjadi lemah tak berdaya seperti itu? Apa semua ini adalah salah Aqila? Bertumpuk pertanyaan memenuhi kepalanya yang hendak pecah untuk memikirkan semua itu. Dia menatap ke arah Devan dan memancarkan sorot mata yang begitu pilu. Sorotan mata itu begitu penuh akan luka yang tak mampu dia jelaskan.

"Dev, kenapa_" ucap Aqila terpotong tak kuasa menahan lagi sakit di hatinya.

"Dev, ini bukan dia kan? Dia itu gagah, kekar, dan kuat. Kenapa dia_" ucapnya lagi-lagi terpotong dan tangisnya semakin memecah keheningan dalam ruangan yang hanya terdengar sebuah alat. "Ini bukan dia kan? Enggak mungkin," tegas Aqila lagi.

"Qila, gue tau gimana sama perasaan lo. Gue tau lo hancur dan terluka karena melihat Bang Abian gini kan? Asal lo tau, banyak sekali hal yang terjadi saat kalian berakhir," ucap Devan lirih.

Aqila masih tidak menyangka dan menatap wajah Abian yang begitu damai dengan mata yang terpejam. Pandangannya semakin mengabur dan air mata semakin berdesakan untuk keluar dari kelopak mata indah Aqila. Dia menunduk dan air mata itu mengenai tangan Abian yang lengkap dengan selang infus.

"Abian, bangun. Ini gue, Abian. Gue udah datang ke sini jauh-jauh sambil minta Rafael yang antar loh. Kenapa lo tega enggak mau buka mata lo? Katanya aja lo sayang sama cinta gue. Katanya mau gue jadi makmum lo. Masa lo kayak gini?"

Tak ada sahutan apa pun dari sosok putih pucat yang kini tengah terbaring. Raganya mungkin masih ada, tetapi jiwa seolah tengah berkelana di lain dunia. Hanya ada bunyi alat pendeteksi yang terdengar. Suasana negeri jiran itu seolah merasakan apa yang tengah Aqila rasakan. Angin datang membelai lembut Aqila dan menggoyangkan tirai rumah sakit.

Sebuah cahaya masuk lewat jendela dan membuat Aqila menyipitkan matanya. Tatapan kosong dia berikan entah apa yang dipikirnya. Bulir bening itu kembali menetes. Gadis cantik itu menangis tanpa suara sambil menatap jendela.

"H-hei...."

Aqila sontak menghadap ke arah Abian tak kala dapat dia dengar suara lemah itu memanggil. Tangan mungil Aqila terasa hangat karena ada tangan lemah Abian yang menggenggamnya. Tangisan itu semakin menjadi dan membuat dada Aqila begitu sesak.

"Kamu kenapa baru bangun sih? Aku udah lama nunggu kamu bangun. Aku pikir kamu_"

"Jangan ngomong itu. Mungkin melihatku sekarang, sudah pantasnya aku kembali ke asalku dari mana. Tapi, percaya atau tidak kamulah yang membuatku bisa kembali dari sana," ucap Abian lembut.

"Enggak boleh. Pokoknya kamu harus tetap sembuh. Katanya mau bahagia bareng aku? Masa kayak gini sih," ucap Aqila.

"Tak mungkin lah aku pergi. Pantang pergi sebelum aku bisa menjadikanmu satu-satunya di hidupku. Aqila, kalau kamu udah jadi separuhku akan aku pastikan kamu hanya bisa bahagia. Maafkan aku," ucap Abian.

CONVENIENCE (Kenyamanan)Where stories live. Discover now