[50] Pasar Malam

47 30 118
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.
.
.

"Nara, ayolah ke pasar malam. Gue pengin ke sana. Coba bilang sama ayah lo," ucap Aqila.

Selesai mengambil raport, mereka tinggal menjalani masa-masa liburan semester, sebelum nanti akan masuk sekolah dan berpindah kelas menjadi kelas 12. Tentunya dengan sesuatu yang berbeda lagi. Entah teman ataupun wali kelas.

Mereka juga tengah pulang dari pondok pesantren. Saat ini Aqila sedang berada di rumah Nara. Ditemani dengan abi dan umi, Aqila memaksa ikut mereka karena ingin keluar. Kabarnya, Alinda dan Talita pun akan menyusulnya.

"Lo ke sini cuma mau ngajak ke pasar malam? Guenya ogah gimana?"

"Lo sih enggak pernah keluar rumah. Di pondok pun betah banget di kamar doang. Emangnya enggak jenuh?" tanya Aqila.

"Enggak. Gue suka, gue nyaman, dan sudah terbiasa. Dari kecil gue dididik buat nggak keluar rumah kecuali ada hal penting."

"Ah susah lo mah. Gue yang denger aja bosan, masa lo enggak?"

"Suka-suka lah. Orang ini hidup gue."

Seorang wanita paruh baya datang menghampiri dua gadis yang tengah berdebat kecil. Dia tersenyum melihat dua gadis itu. Tangannya bergerak untuk mengusap pelan punggung mereka.

"Ada apa, Umi?" tanya Aqila langsung.

"Enggak papa kok. Cuma lagi liat kalian debat dari tadi. Ada apa sih?"

"Itu Nara orangnya susah buat pergi-pergi. Aqila pengin sekali gitu ngajak dia keluar, Umi. Tapi katanya lebih betah di rumah. Bahkan kalau di pondok pun sama. Enggak pernah keluar," ucap Aqila layaknya anak tengah mengadu pada orang tuanya.

"Terus salahnya apa? Malahan bagus kalau cewek betah di rumah," ucap Umi Rahma.

"Tapi_"

"Mau umi jelaskan enggak? Denger ya, Nak. Wanita adalah aurat. Sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita salehah. Perempuan kodratnya itu di rumah. Bukan kuper atau gimana, Sayang. Tapi justru itu sunnah yang diajarkan. Kamu tau Bunda Fatimah Az-Zahra?" tanya umi.

"Iya, Umi. Aqila tau. Memangnya kenapa?"

"Beliau selalu tertutup. Hampir atau bahkan tidak pernah keluar sama sekali dari rumah. Sekalipun keluar rumah, tidak nampak bagaimana wajahnya. Depan dan belakang beliau hampir sama. Kamu tau kenapa, Sayang?" tanya umi lagi.

Nara tersenyum dan mengangguk. "Karena beliau itu punya rasa malu yang luar biasa. Beliau sangat terjaga. Tidak pernah melihat lelaki ataupun dilihat oleh lelaki. Masyaallah, apa Nara bisa masuk ke barisan beliau kelak ya? Sementara, untuk mencium bau surga Allah aja kayak enggak pantas," ucap Nara berhasil membuat umi tersentuh dan mengeluarkan air mata.

"Nak, enggak ada manusia yang sempurna. Tugasnya perbaiki semua akhlaknya dulu agar lebih pantas. Kehendak Allah tidak ada yang tahu," ucap umi.

Aqila mengetahui satu hal. Apa yang dilakukan Nara benar. Dia hanya ingin menjaga diri. Mengetahui itu, Aqila merasa bersalah dan tiba-tiba memeluk Nara dan umi. Rencana ingin ke pasar malam lenyap begitu saja.

CONVENIENCE (Kenyamanan)Where stories live. Discover now