[54] Penghianat Cinta

52 27 90
                                    

Happy Reading
.
.
.
.
.
.
.
.

03.00  pagi

Hiruk pikuk pesantren begitu terdengar. Semua santri laki-laki dan perempuan, berjalan ke sana ke mari demi merasakan siraman air dingin yang begitu menyegarkan. Tawa mereka begitu keras. Wajah-wajah itu seolah tidak pernah merasakan beban sedikitpun.

"Huh, enak bisa kayak mereka. Gue juga mau enggak ada beban sama sekali. Kapan bisa ketawa lepas kayak mereka ya?" gumam seorang gadis. Kepalanya menengadah merasakan sensasi lembut dan damai kala tiupan angin itu mengenai wajahnya. "Luka yang lo beri sedalam ini. Entah apa yang harus gue lakukan. Kenapa gue segampang itu anggap lo itu laki-laki yang enggak gampangan sama cewek?" ucapnya lagi.

Jelas Aqila merasa sakit hati. Antara dia dan Abian sudah banyak diketahui oleh orang lain kecuali yang sekarang terjadi. Sebejatnya Abian, Aqila tidak ingin mengatakannya pada orang lain. Cukup dia, sahabat dia, sahabat Abian, dan Allah yang tahu. Secara logika memang sangat keterlaluan sikap Abian itu. Tetapi jika dipikir lagi Allah saja mampu menutup aib hamba-hambaNya kenapa Aqila yang manusia tidak bisa?

Aqila memejamkan matanya yang indah, dia tidak ingin lelah memikirkan hal itu lagi. Apa yang terjadi cukup dia nikmati. Namun, ada kalanya juga Aqila akan memberitahukan jika dia ingin menyudahi hubungan atau ta'aruf dengan Abian. Biarpun dia sabar, tetapi dia tidak akan mau jika harus diam saja dengan penghianatan cinta .

Sinar rembulan masih tampak di langit yang kelabu. Bintang pun tak mau jika meninggalkan bulan terang nan cantik itu. Aqila hanya bisa menatap sang bulan, berharap tidak ada tangis yang akan tumpah untuk mengawali pagi ini. Tampak sosok laki-laki di ujung masjid tengah menatapnya sendu. Terlihat samar, namun Aqila jelas mengenali siapa dia.

Dilihat dari tatapan dan kediaman pria itu, Aqila bisa merasakan jika dia ingin mengatakan banyak hal. Terlambat sudah. Kepercayaan Aqila sudah hancur membentuk kepingan luka pilu karenanya. Hatinya tidak lagi bisa menerima apa pun jika tentang dia. Benar, dia adalah Abian. Pria dengan ketampanan parasnya namun, dia juga yang menorehkan luka menyakitkan hati dengan ketulusan cinta yang amat besar.

"Terlambat, Abian. Lo udah kehilangan kepercayaan gue. Andai saja lo tau sesakit apa. Hati yang awalnya penuh dengan cinta, harus rusak karena sebuah penghianatan."

"Aqila, lo ngapain pagi-pagi udah ngelamun? Kesambet tau rasa lo."

Nara dengan mukena putihnya sudah berdiri di dekat Aqila. Jadwalnya adalah tahajud oleh karena itu Nara mengenakan mukena. Lalu bagaimana dengan Aqila? Gadis itu tengah mendapatkan tamu bulanannya. Dilihatnya di balik punggung Nara, ketiga sahabatnya pun ada di sana dengan wajah yang menanyakan hal sama yang ditanyakan Nara beberapa menit lalu.

"Enggak papa kok. Mendingan, kalian tahajud aja dulu. Gue lagi ada tamu bulanan," ucapnya dengan senyum tipis. "Oh iya, tadi umi minta kawasan pondok dibersihkan. Nanti bakalan ada acara sholawat bersama. Udah direncanain dari dulu sih tapi baru terlaksana sekarang."

"Iya sih. Tapi lo juga harus bantu-bantu dong. Yakali kita-kita doang. Mentang-mentang anak pemilik pondok segampangnya gitu," ucap Talita.

"Lo kayak nggak tau aja gue siapa. Iya, nanti gue bantu. Buruan gih sana salat tahajud," usir Aqila.

"Hooh, bener tuh Aqila. Yuk, kita ke masjid dulu," ucap Alinda.

CONVENIENCE (Kenyamanan)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ