[44] Sebuah Rencana

55 27 99
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.

Waktu terasa begitu cepat. Kini, keempat gadis dan keempat laki-laki itu sudah kembali menjalani kehidupan sekolah lagi. Mereka menjadi santri di pondok pesantren yang sama dengan Aqila. Lebih tepatnya, pondok pesantren milik orang tua Aqila. Rafael sudah kembali ke asal daerahnya.

Aqila tengah memakai kerudung sebelum dia berangkat ke sekolah. Ketiga sahabatnya belum terlihat dari pagi. Entah mereka ke mana. Memilih untuk menunggunya, Aqila duduk di ruang tamu sambil memainkan ponsel milik umi. Sungguh berbeda dengan ponsel Aqila yang isinya konten-konten tidak jelas. Ponsel uminya hanya berisi tentang dakwah, cerita, dan motivasi islami.

"Ya Allah, adem banget lihat hp umi. Beda sama hp gue yang isinya nggak jelas," gumamnya.

"Aqila," panggil umi lembut.

"Eh, Umi. Aqila di sini, Umi. Sebentar, Aqila ke situ dulu," ucapnya dan menyusul Umi Rahma.

Jarak ruang tamu dengan dapur cukup dekat. Tidak butuh waktu lama, Aqila sudah sampai di dapur yang meja makannya penuh dengan beberapa makanan untuk sarapan. Aqila tersenyum melihatnya. Semalam, Aqila tidak tidur di kamar putri, tapi dia tidur di dalem karena semalam sedikit tidak enak badan.

"Kamu udah mendingan belum, Nak?" tanya umi.

"Alhamdulillah, Umi. Bisalah dibawa ke sekolah. Eh, Umi ada lihat teman-teman Aqila nggak?" tanya Aqila.

"Nggak tuh. Umi nggak lihat mereka," ucapnya.

"Hmm, ya udah deh. Nanti juga ketemu. Aqila boleh makan dulu nggak, Um?" tanyanya.

"Iya boleh. Kamu duluan aja. Nanti umi sama abi nyusul aja," ucap umi.

Aqila duduk mengambil posisi nyaman dan kemudian memasukkan nasi ke piring. Setelah tahu ilmu dari umi dan abi saat itu, Aqila terbiasa makan dengan tangan tanpa sendok. Memang benar, rasanya jauh lebih nikmat saat dimakan.

Saat ingin memasukkan nasi ke dalam mulut, ponsel di tas berbunyi dan dia segera mengambilnya. Hari ini adalah jadwal pegang hp untuk semua santri di Pondok Pesantren Al-Karim. Jadi, Aqila pun tengah memegang hp.

Sebuah notifikasi dari grup chat. Terdapat pemberitahuan jika Aqila dikeluarkan dari grup itu bersama dengan Abian. Ya, anggota grup itu adalah Aqila dan ketiga sahabatnya serta Abian dan ketiga sahabatnya juga. Aqila dibuat bingung dengan hal itu.

"Kok, gue sama Abian dikeluarin? Maksudnya apaan coba? Wah, nggak bener ini. Gue musti bilang sama Nara," ucapnya.

Rupanya ekspresi wajah Aqila sangat jelas. Umi yang melihat Aqila seperti itu, segera menghampiri putri kesayangannya itu. Memang Aqila aneh, tadi saja dia seperti bahagia dan sekarang sudah tampak seperti murung dan kesal.

"Ada apa, Nak?"

"Ini, Um. Masa Aqila sama Abian dikeluarin dari grup? Memangnya kenapa coba? Kalau mereka kesal nggak harus gini juga kali," ucap Aqila.

"Ya Allah, umi kira apaan. Ya udah kamu jangan kesal gitu. Nanti, kalau sekolah coba kamu tanya sama Nara atau teman kamu yang lain."

Memilih untuk tidak memperkeruh masalah pada dirinya, Aqila segera meyelesaikan sarapan dan setelah itu, dia berangkat ke sekolah dengan wajah yang murung dan kesal. Tidak seperti saat sebelum dia mengetahui jika dia dikeluarkan dari grup.

CONVENIENCE (Kenyamanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang