[35] Sosok Kakak

44 30 93
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh...
.
.
.
.
.
Happy reading semua

Deru angin ikut menemani sebuah sepi yang tengah dirasakan oleh Aqila. Ingin rasanya, Aqila terus seperti ini saat dia butuh ketenangan, di mana hanya ada dia dan bisikan angin yang menjadi teman bicaranya. Saat dikatai gila sebab berbicara dengan angin kosong, justru jauh lebih baik daripada teriak di suatu tempat sendirian.

Kain putih yang digunakan sebagai penutup jendela ikut menari dengan daun-daun di luar sana yang terlena dengan angin sejuk yang memulainya. Aqila tersenyum di balik sepinya hati dan di balik kalutnya pikiran serta hati yang tak pernah hentinya berdebat dengan pendapat yang sulit diakali. Semenjak kehadirannya, perlahan ketenangan Aqila terkikis karenanya. Lelah.

"Aqila, lo jangan keseringan melamun. Mikirin apa sih?" Nara datang dengan secangkir kopi untuk disuguhkan pada Aqila. "Lo mau gue di sini kapan? Katanya mau cerita?" tanya Nara mulai jengah.

"Iya, maaf. Gue lupa mau cerita ke lo," ucap Aqila.

"Kalau gini, mending nggak usah ikut ke rumah bibi lo. Sama aja kaya nungguin lo doang." Nara sudah dalam mode kesal dan cukup membuatnya lelah. "Kalau aja lo nggak ajak, pasti udah manja sama kasur."

"Lo nggak nyaman ya sama rumah bibi gue? Maaf, gue__"

"Bukan gitu. Tapi, lo bikin kesel. Kata mau cerita malahan sampai sekarang belum. Gimana jadinya coba?" kesal Nara.

Aqila meminum kopi yang Nara bawa dan kemudian dia menoleh ke arah pena yang dari tadi tidak dia sentuh. Aqila memegang
erat pena itu sambil menahan air mata agar tidak jatuh di hadapan Nara. Berakhir dengan kegagalan. Aqila tidak bisa bertahan lagi.

Nara yang melihatnya panik dan segera mendekap tubuh Aqila yang bergetar. Sejauh ini, Aqila sudah jarang cerita dengannya. Sekalinya cerita, bisa membuat Nara khawatir terjadi sesuatu besar yang membuat Aqila tersiksa bahkan menderita. Terhitung sejak kedatangan Abian dan teman-temannya ke rumah Aqila waktu itu.

"Hey, kok nangis sih? Ada apa, Aqila? Makanya kalau terjadi sesuatu itu cerita. Lo kelamaan pendam ini semua, jadinya langsung nangis 'kan?" ucap Nara.

"Gue nggak tau harus gimana lagi hadapinnya, Na. Segampang dan seringan itu dia bilang kalau gue cuma bercanda selama ini. Semua yang gue omongin modal ngomong doang katanya, nggak ada bukti. Gimana nggak sakit?"

Aqila masih saja terisak dalam dekapan Nara. Gadis itu luapkan semua air mata yang sudah lama ditahan, hingga membasahi jilbab yang Nara gunakan. Aqila hanya butuh dekapan dan seseorang yang mau mendengarkan semua cerita yang dia punya. Saat ini, Aqila butuh seseorang yang mampu menopangnya.

Dari ketiga teman dan banyaknya orang yang dekat, entah kenapa Aqila memilih Nara untuk jadi teman cerita. Semua yang di pikirannya, sedikit berkurang jika berbicara dengan Nara. Aqila sendiri juga tidak tahu kenapa.

"Udah, nangis aja. Nanti bicara kalau udah tenang," ucap Nara lembut. Sebenarnya, tanpa Aqila lanjutkan ceritanya, gadis itu tahu bagaimana dan ke mana arah bicara Aqila. "Keluarin aja, Aqila. Selagi itu bisa bikin lo tenang, gue nggak papa kalau jilbab atau baju gue basah. Sebab lo, udah gue anggap adik gue sendiri. Kalau lo bisa menjadi kakak buat Mike, maka gue akan jadi kakak lo," ucap Nara lembut pada Aqila.

Setelah puas, Aqila menegakkan tubuhnya dan melihat ke arah Nara. Keduanya saling tatap hingga Aqila menemukan sesuatu yang sangat langka pada diri Nara. Wajahnya begitu tenang dan Aqila bisa lihat, Nara juga ikut merasakan apa yang dia rasakan dari mata dan wajahnya, padahal Aqila belum cerita apa pun.

CONVENIENCE (Kenyamanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang