Prologue

424 44 64
                                    

"Karena aku jatuh cinta sama kamu!" seru Eleanor, terlepas begitu saja. Ia tidak sempat merasa menyesal telah mengucapkannya karena itulah kebenaran yang sesungguhnya.

Guntur bergemuruh menggetarkan bumi.

Kilat menyambar silau di langit.

Butir hujan menodai kaca.

Angin berdesir kasar.

Kota Jakarta dilanda cuaca ekstrim. Demikian dengan perasaan Eleanor malam itu, kacau balau. Ekspresi tekhianati dan terluka tergambarkan jelas di wajahnya. Ia tidak percaya Ethan telah menyembunyikan rahasia besar darinya.

Berbanding terbalik dengan Eleanor yang terengah oleh berbagai emosi yang menyerangnya, Ethan justru berdiri tenang, dingin, dan terkesan tidak peduli, bahkan mungkin mulai muak dengan omong kosong ini. Sebatang rokok yang menggantung kendur di sela jemarinya lebih menyita perhatian daripada ungkapan perasaan Eleanor.

Setiap detik keheningan yang terjadi di antara mereka memberikan patahan baru di hati Eleanor. Ia baru saja menyuarakan perasaannya dan Ethan bahkan tidak merasa Eleanor pantas mendapatkan sebuah reaksi.

"Apa yang kamu tahu soal cinta? Kamu hanya anak kecil, Eleanor," balas Ethan, mendengus halus penuh ejek. "Yang kamu alami itu adalah cinta monyet."

Kernyitan di dahi Eleanor semakin dalam karena menahan tusukan pisau oleh kata-kata Ethan. "Tapi bukan berarti perasaanku nggak nyata," bisiknya. "Aku tulus."

"Dan kamu akan dengan cepat melupakannya. Kalian remaja gampang berpindah hati. Jangan anggap perasaanmu akan kekal." Ethan menghembuskan asap ke langit-langit, tidak tergerak sedikitpun hatinya.

Setetes air mata berhasil meluncur namun dengan gerakan cepat Eleanor menghapusnya, tak sekalipun mengalihkan tatapannya. "Apa perasaanku nggak ada artinya buatmu?"

"Tidak." Jawaban singkat itu memuntir jantung Eleanor hingga sakitnya menyesakkan. "Aku menyukaimu, bukan mencintaimu."

Ucapan itu lebih buruk daripada sekadar penolakan biasa. "Kamu seharusnya bilang dari awal supaya aku tahu dan... nggak menyimpan perasaan sama kamu."

Ethan menyungging seringai tipis, nyaris mendekati sebuah ekspresi meski mata tidak memantulkan senyumnya. "Tapi kamu akan menghindariku kalau kamu tahu. Aku tidak menginginkan itu. Aku ingin bersamamu, Eleanor."

Begitu manis dan penuh racun lidah pria itu.

"Kenapa? Kalau kamu sekadar menginginkan perempuan kenapa nggak pilih yang lainnya? Kayak yang kamu bilang, aku cuma anak kecil. Kenapa aku?" tuntut Eleanor dengan suara lemah dan pilu pada pertanyaan terakhir.

"Memancing pujian?" sindir Ethan sebelum berjalan mendekat, senyum semakin dalam melihat Eleanor mundur hingga menabrak kaca di belakangnya.

Dagu Eleanor terangkat meski matanya dibayangi selaput air mata tipis. "Kenapa?"

"Kamu yakin ingin tahu? Kamu akan hancur kalau tahu." Ethan hendak menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga Eleanor, namun gadis itu menampik tangannya. "Menolak sentuhanku sekarang?"

"Kenapa?" ulang Eleanor lebih lantang, ekspresi mengeras.

"Baiklah. Tapi ingat, kamu yang minta," balas Ethan dengan nada ringan. "Sejak kecil aku banyak menerima mainan, tapi semua selalu cepat membuatku bosan. Tidak ada yang bisa menyita perhatianku cukup lama, hingga mainan tidak lagi menarik untukku. Tapi kemudian aku menemukan ketertarikan pada manusia untuk menjadi objek hiburanku. Aku suka mempermainkan orang dan melihat reaksi mereka yang bervariasi."

"Ada yang menyenangkan, ada yang mengecewakan tapi, aku tidak pernah bosan." Ethan mengurung Eleanor dengan kedua lengannya, bulu mata membayangi netra se-dalam samudera, menenggelamkan Eleanor. "Dan kamu adalah salah satunya."

Dark SymphonyWhere stories live. Discover now