Chapter 40: Aesthetic

79 21 27
                                    

Pagi datang oleh suara kicau burung yang melaporkan cuaca cerah hari itu. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 8 dan belum ada tanda-tanda akan mendung, matahari sedang dalam suasana hati gembira untuk keluar dan memandikan anak-anak bumi dengan vitamin. Awan putih bagaikan permen kapas silih berganti melayang di langit yang biru, membentang luas dari kaca kamar Eleanor.

Ethan berdiri di dekat tempat tidur Eleanor, sudah mandi, bercukur, dan berpakaian rapi, lengan terlipat di dada. Ia sudah berusaha membangunkan gadis itu, bahkan membuka tirai lebar-lebar, namun Eleanor hanya bergumam lalu berguling ke arah lain dan menutup kepalanya dengan selimut. Masih tetap terlelap.

Entah jam berapa Eleanor kembali ke kamarnya setelah mengatakan pada Ethan bahwa ia masih ingin bermain piano. Ingin rasanya pria itu bertanya mengenai lembaran kertas yang berserakan, namun Eleanor sepertinya enggan dan ekspresinya berharap Ethan tidak menyelidikinya. Menyerah–hanya untuk saat itu–Ethan akhirnya pamit ke kamarnya lebih dahulu.

Tebakan Ethan, Eleanor pasti tidur terlalu larut hingga membuka matanya saja sulit.

"Eleanor, bangun. Katedral buka jam 10 dan antriannya bisa sangat panjang." Ethan menarik selimut gadis itu, masih berupaya membangunkannya. "Kamu yang ingin pergi ke sana."

"Lima menit lagi," gumam Eleanor sambil mengubur wajahnya lebih dalam pada bantal, mendesis kala selimutnya ditarik lagi.

Eleanor juga mengatakan hal yang sama 10-menit yang lalu.

Memeriksa jam tangannya, Ethan kemudian menyingkap selimut yang menutupi kaki Eleanor, telapak merah muda, kuku dipontong pendek dan diberi warna biru muda. Ia mencoba dengan sentuhan ringan pada telapak gadis itu dan tak melihat adanya reaksi. Sempat terlintas bahwa Samuel berbohong, namun ia mengulanginya lagi untuk memastikan, kali ini dengan gesekan kuku.

Mata Eleanor seketika terbuka dan menarik kakinya, lalu mengangkat tubuhnya dengan tangan bertopang pada kasurnya. Ia melotot ke arah kaki tempat tidur, ke arah Ethan yang senang telah sukses membangunkan Eleanor.

"Fuck you," umpat Eleanor dengan suara parau, kesal, masih berat oleh kantuk. "Aku sumpahin rambutmu rontok dan botak di umur muda."

Salah satu alis Ethan terangkat. "Kecuali aku punya penyakit keras, aku tidak akan cemas. Aku punya genetik yang bagus."

Eleanor memutar kedua bola matanya. Sekali lihat saja siapapun tahu bahwa Ethan merupakan salah satu keturunan paling beruntung. Tidak perlu pria itu mengumbarnya.

"Ayo, bangun. Mandi dan siap-siap."

Eleanor menengadahkanya kepalanya ke langit-langit dan mengerang sedih. Ia masih kurang tidur, tapi ia tidak mau melewatkan tur Katedral. "Aku butuh latte."

"Setelah kamu siap," ujar Ethan, menyebabkan Eleanor menatapnya tidak percaya, seperti pria itu baru saja mengkhianatinya. "Kamu akan berlama-lama minum latte."

"Kamu pagi-pagi sudah nyebelin," gerutu Eleanor, membiarkan dirinya ditarik turun dari tempat tidur. Ia menyambar ponsel dari meja nakas saat Ethan mendorongnya ke arah kamar mandi.

"Seriously?"

"Wajib." Eleanor tahu Ethan berpikir dirinya konyol karena membawa ponsel ke dalam kamar mandi. "Aku nggak mood mandi kalau ngga ada musik atau lagu."

Ethan geleng-geleng kepala. "Terserah, pokoknya jangan lama-lama."

Eleanor hanya menjulurkan lidah sebelum menutup pintu.

***

"Kamu terlalu lama milih pakaian."

Eleanor mencebik. "Kamu yang bikin lama. Aku sudah pilih, tapi kamu nggak setuju jadinya aku harus cari yang lain."

Dark SymphonyWhere stories live. Discover now