Chapter 1: Beethoven's Fault

170 31 16
                                    

Eleanor menggigit bibir bawahnya sambil membaca sederet persyaratan di sebuah halaman situs web, dalam hati merasa bimbang dan tidak yakin. Melirik temannya yang sedang menikmati semangkuk bakso, ia memberanikan diri untuk bertanya.

"Menurut lo gimana kalau yang ini?" Seraya membawa ponsel di tangannya untuk dilihat bersama-sama.

Memiringkan kepala dan mengerutkan kening, Monica–yang merupakan teman baik Eleanor semenjak masuk bangku SMA–membaca apa yang ada di layar dengan seksama. "Bagus sih, cocok banget buat lo tapi persyaratannya minimal umur 18 tahun dan punya KTP. Lo kan nggak punya KTP, apalagi 18 tahun."

Menarik kembali ponselnya dengan mengerutkan bibir, Eleanor pun juga berpikiran hal yang sama ketika melihat lowongan kerja tersebut. "Iya, tapi gajinya lumayan, Mon, jam kerjanya juga cuma hari Sabtu dan Minggu doang. Ditambah lagi lo tahu kelebihan gue terbatas."

Di seberang meja mereka Bobi meringis sambil dalam hati tergelitik untuk tertawa. "Lo masih nyari kerjaan, El? Gue kira lo bakal nyerah setelah yang terakhir."

Kata-kata Bobi sama sekali tidak membantu keputusasaan Eleanor. Pekerjaan Eleanor yang dimiliki pertama–dan saat ini terakhir–adalah sebagai pelayan sebuah kafe yang dimiliki oleh Om Agus, paman dari Bobi. Sejarah mencatat–begitu pula rangkaian barang yang pecah di tangan Eleanor di dalam laporan Om Agus–bahwa gadis itu tidak cocok menjadi pelayan. Pekerjaan yang diberikan sederhana dan panduan saat pelatihan pun sangat jelas namun, entah bagaimana Eleanor bisa mengacaukan semuanya.

Om Agus, yang pada dasarnya baik hati karena sudah mau mempekerjakan Eleanor melalui koneksi keponakannya, dengan berat hati pun harus memecat gadis itu karena tidak ada perkembangan dalam melakukan tugasnya. Pria paruh baya itu pun melakukannya dengan cara terhormat, dan Eleanor tahu ia memang tidak layak untuk bekerja di kafe itu.

'Om mohon maaf sekali, nak El, tapi, Om rasa kamu kurang cocok bekerja di sini. Sangat terpaksa Om harus memberhentikan kamu karena Om nggak lihat sepertinya kamu bisa menjadi pelayan telaten. Sekali lagi Om mohon maaf."

Eleanor tidak tahu apakah itu adalah templat klise yang sudah dihapal oleh setiap bos ketika memecat bawahannya, atau memang Om Agus sebaik itu mau memperhalus kata-katanya. Bahkan ucapan itu justru membuat Eleanor merasa semakin tidak berguna dalam melakukan pekerjaan. Ia mengerti mengapa Om Agus memecatnya.

Bobi pun tidak bisa menyalahkan Eleanor atas ketidakmampuannya dalam menjalankan tugasnya karena, temannya itu selalu dilayani, alih-alih melayani. Tumbuh besar dengan sendok perak dan tidak pernah melakukan pekerjaan rumah. Tidak heran jika Eleanor yang terbiasa hidup enak memiliki kesulitan dalam melakukan pekerjaan kelas buruh.

SMA Khatulistiwa, tempat Eleanor menempuh pendidikan adalah salah satu SMA swasta bergengsi dengan kurikulum yang lebih maju dibandingkan sekolah pada umumnya. Banyak anak dari orang kaya, selebriti dan memiliki kedudukan tinggi di Indonesia yang bersekolah di sana.

Ayah Eleanor adalah seorang pengacara terkenal dan ibunya memiliki klinik kecantikan yang sedang maju pesat di kalangan anak muda dan wanita sosialita, ditambah lagi kakaknya aktris yang sering menghiasi layar kaca dan merupakan alumni yang dikenal oleh banyak guru dan para junior, bahkan setelah tiga tahun Abigail lulus.

"Apa mau gue coba tanya ke bokap gue? Siapa tahu ada kerjaan buat lo," tawar Samuel, yang duduk di sebelah Bobi dan sudah menyelesaikan makan siangnya. Mata biru terang Sam, warisan genetik dari ibunya, menunjukkan keseriusan, membuat Eleanor meleleh karena kebaikan temannya.

Bobi mendengus geli. "Dia kerja di tempat bokap lo yang ada server bisa down, satelit meledak, Sam, meledak!" serunya dengan gerakan kedua tangan mengisyaratkan sebuah letusan, lalu terkekeh.

Dark SymphonyWhere stories live. Discover now