Chapter 24: Caring

79 23 15
                                    

Satu hal yang tak hentinya disyukuri Eleanor dalam hidup adalah mewarisi tangan yang stabil dari ibunya. Merupakan keuntungan bagi Diana dan Eleanor karena mereka memiliki pekerjaan yang melibatkan tangan sebagai alat utama. Tangan itu jugalah yang membuat klinik kecantikan Diana maju pesat, karena kemahirannya dalam menyulap wajah atau bagian tubuh lainnya menjadi lebih indah.

Meski demikian, setiap kali Eleanor harus mengaplikasikan eye-liner di kelopak atau di bawah matanya, ia harus mengulangi mantera supaya tidak mengacaukannya. Ia masih ingat bagaimana ia berhasil mencolok bola matanya sendiri sewaktu masih latihan dulu, begitu perih dan trauma itu membekas. Bisa saja Eleanor mengabaikan eye-liner tapi, riasan itu membingkai matanya dengan cantik.

Dan ia harus tampil cantik untuk malam itu karena Eleanor memiliki misi khusus.

Setelah bermain-main untuk waktu singkat di kolam, Oscar datang untuk mengingatkan soal konser yang akan berlangsung jam 7.30 malam. Ditambah mereka juga punya reservasi makan malam di sebuah restoran. Asisten Ethan itu juga bertanya apakah Eleanor membutuhkan bantuan salon hotel untuk bersiap-siap, yang ditolak halus gadis itu.

Sewaktu bersiap-siap sebelum pergi ke Naschmarkt Eleanor sempat melihat sekumpulan make-up yang berbaris rapi dan baru di atas meja riasnya. Ia yakin bisa mendandani dirinya sendiri tanpa harus merepotkan karyawan salon, yang mungkin harus membantu banyak orang lainnya untuk pergi ke acara malam. Acara yang berlangsung di Wina sangat banyak setiap harinya.

Selesai dengan kelopak mata terakhir, Eleanor kemudian menerjap dan memutar wajahnya ke kanan dan kiri, memastikan eye-linernya simetris. Puas melihat hasil kerjanya, ia kemudian beralih ke maskara dan riasan terakhir untuk bibirnya. Karena banyaknya warna, Eleanor memiliki kesulitan untuk memilih.

Konsentrasi Eleanor terpecah kala telinga menangkap suara ketukan di pintunya. "Eleanor, apa kamu sudah siap? Butuh bantuan dengan risleting gaun?"

Mata Eleanor menyipit, setengah memutar badan dari posisinya di depan cermin. "Kok kamu tahu?"

"Aku tahu rumitnya gaun perempuan," jawabnya setelah membuka pintu kamar Eleanor.

Menurut Eleanor tidaklah ada bedanya antara setelan dan tuksedo, selain dasi kupu-kupu. Dan setelah melihat Ethan selalu mengenakan setelan seharusnya penampilannya dalam tuksedo juga tidak banyak berbeda tapi, Eleanor tidak setuju. Pria itu tampak berbeda meski ia tidak tahu di mana letaknya.

Dalam setelan kental sekali Ethan terkesan sebagai seorang pengusaha, dan kualitasnya yang tinggi menyatakan bahwa ia orang sukses. Namun mengenakan tuksedo pria itu memancarkan citra seorang... gentleman. Seorang pria terhormat dengan perilaku layaknya bangsawan arsitokrat.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Ethan, melangkahkan kaki yang seperti tak berujung mendekati Eleanor di depan meja rias.

"Milih lipstik. Ada banyak varian, aku bingung," jawab Eleanor, berusaha untuk tidak menumpahkan air liur di gaun barunya atau sampai merusak riasannya.

Ethan melihat dua warna lipstik di tangan Eleanor, mempertimbangkan, kemudian menggelengkan kepala sebagai tanda tidak setuju. Ia lalu memeriksa warna lainnya hingga ia berhasil menemukan apa yang ia cari. Giliran Eleanor yang terlihat tidak setuju.

"Buka bibirmu."

Eleanor menahan pergelangan tangan pria itu. "Itu warna merah." Ia biasa memilih merah muda dengan jenis nuansa yang berbeda.

"Lalu? Kamu tidak suka dengan warna merah?

"Bukan nggak suka tapi, warna itu 'kan buat perempuan dewasa. Nggak bakal cocok sama aku, takut berlebihan," jawab Eleanor.

Dark SymphonyWhere stories live. Discover now