Chapter 34: Appreciation

96 23 26
                                    

Setelah didesak, Ethan akhirnya menjelaskan sesingkat mungkin bahwa, Mike adalah laki-laki yang Eleanor temui di klub dan membuatnya mabuk berat dengan mencekokinya minuman keras sebagai upayanya untuk mendapatkan teman tidur. Eleanor terhenyak mendengar hal tersebut dan juga ada ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Sempat ia mencoba menggali ingatannya tapi, ia tidak mendapatkan apa-apa. Hatinya mencelos karena dirinya hampir menjadi mangsa seseorang, dan juga bersyukur Ethan ada bersamanya.

"Tapi kenapa aku?" tuntut Eleanor pada siapapun yang mendengarnya.

"Perhaps because you're fucking pretty. Fucking gorgeous. Fucking adorable. Berapa kali harus aku bilang begitu supaya kamu percaya?" Ethan menghembuskan napas kasar, berupaya melipat koran dan menyembunyikam letak kerusakannya. "Kita sudah pernah membahas ini sebelumnya."

Meski wajahnya berubah merah muda, tersipu malu, Eleanor tidak mau kalah memberikan argumen. "Buat kamu aku cantik, tapi belum tentu orang lain. Kamu nggak..."

Ethan tak menunggu kalimat itu selesai saat memotongnya dengan gusar. "I swear to God, if you say something about your chest again, I'll take you the nearest beauty clinic and get it done. Kalau kamu ingin yang teknologinya lebih canggih, kita bisa ke Berlin."

Eleanor membuka mulutnya meski tidak tahu hendak berkata apa, akhirnya terdiam dan mencebik, mendelik ke arah Ethan. Sebenarnya Eleanor memang merasa minder dengan tubuhnya, ditambah ibu dan kakaknya memiliki bentuk tubuh sintal dan melekuk layaknya sebuah seni tinggi. Pujian demi pujian yang diberikan Ethan tidak bisa serta merta menyembuhkan apa yang ia rasakan sejak mulai puber dan selalu dibandingkan.

"Bahkan Marina yang sekali lihat, di klub yang ruangannya gelap, bilang kamu cantik," tambah pria itu.

Eleanor menelengkan kepala ke samping, sejenak tidak percaya dan jengkel nama wanita itu disebut-sebut. "Masa? Terus apa lagi?" Mata menyipit, bibir membentuk garis tegas.

"Bukan itu intinya." Seolah ia akan membeberkan imajinasi sinting Marina, pikir Ethan. "Intinya kamu jangan ingat-ingat lagi soal Mike dan berjanji untuk tidak menerima minuman, apalagi alkohol, dari orang yang kamu tidak kenal. Itu pantang, Eleanor. Apa orang tuamu tidak mengajarkanmu itu?"

"Iya, iya, aku salah," aku Eleanor, kesal dan juga merasa bersalah. "Tapi kamu juga, sih, pergi gitu saja sama Marina. Kamu pikir aku apaan mau nungguin kamu yang ninggalin aku." Ia menendang kakinya yang berada di dalam selimut, menyentuh tungkai Ethan. "Aku nggak suka bengong kayak orang tolol."

Ethan berhak membantah kalimat terakhir itu karena, Eleanor nyatanya memang sering melamun layaknya orang dungu tapi, ia tidak melakukannya. "Oh, great! Kita membahas topik yang sama dengan waktu kamu mabuk. Aku harap ujungnya tidak sama dengan apa yang terjadi semalam."

Eleanor terdiam. "Aku ngomong begitu juga kemarin?"

"Dengan gaya orang mabuk, hampir tidak jelas, tapi, ya, kamu mengatakan hal yang sama," ungkap Ethan.

"Apa aku... malu-maluin di klub waktu lagi mabuk?" Mendadak Eleanor merasa takut mendengar apa yang sebenarnya terjadi semalam. Sepertinya ada rangkaian peristiwa heboh yang disebabkan olehnya dan tidak hanya soal waxing.

Demi sedikit membalas dendam atas kelakuan Eleanor semalam, yang membuatnya frustasi dan hilang akal, Ethan mengangkat meja lipat dan berkata, "Lebih baik kamu tidak tahu. Rambutmu akan berbubah putih kalau tahu karena, aku yakin aku punya beberapa uban yang tumbuh setelah semalam."

Eleanor membeku, wajah perlahan menyerupai warna kertas.

***

Eleanor tidak tahu bagaimana ia bisa berada dalam posisinya dengan Ethan

Dark SymphonyWhere stories live. Discover now