Chapter 50: Unstable

87 17 11
                                    

Hari Minggu setelah brunch bersama, Ethan dan Eleanor pergi ke Naschmarkt untuk pasar akhir pekan. Area itu jauh lebih ramai dan jenis dagangan yang digelar lebih beragam daripada sebelumnya. Banyak barang buatan tangan dan antik.

Eleanor selalu melirik Ethan setiap mereka melewati penjual guci, menatap jahil. Ethan akan memutar dagu Eleanor agar menghadap ke depan dan memerintahkannya untuk terus berjalan, namun tak dipungkiri senyum tipis berhasil terukir.

Di sana pula Eleanor menemukan banyak cindera mata untuk teman-temannya, bahkan ada juga untuk dirinya sendiri. Ia membayar semua itu dengan uang pribadinya dan bangga akannya. Dompet Eleanor menangis hari itu, tapi ia puas melihat semua kantung belanjaannya, berpikir teman-temannya akan senang. Tak apa sesekali boros.

Tak terasa waktu terus bergerak hingga mereka sudah selesai makan siang dan kembali ke hotel. Eleanor diperbolehkan menggunakan koper yang ada di kamar untuk menampung oleh-olehnya. Ia lalu berganti pakaian dengan yang ia kenakan sewaktu sampai, piyama abu-abu dengan cardigan serasi dan sandal kuning cerah; sudah dicuci dan disetrika oleh hotel.

Sebelum Eleanor sadar, mereka sudah berada di dalam pesawat menuju London sebagai tujuan pertama. Ethan tidak akan pulang bersama Eleanor karena masih punya urusan di tanah kelahirannya. Dari sana pesawat pribadi pria itu akan mengantar Eleanor ke Jakarta, sebelum kembali lagi kemana pemiliknya berada.

Eleanor sempat menawarkan diri naik pesawat komersil karena ia tahu biaya penerbangan pesawat pribadi pasti sangat mahal, apalagi kalau harus bolak-balik antar benua.

Namun Ethan menolak. "Tidak. Kamu akan luar biasa lelah menempuh perjalanan jauh dengan pesawat komersil."

"Ethan, aku bukan bayi," protes Eleanor. "Aku bisa ngatasin capek habis perjalanan."

"A no is a no, Sweetheart. Sekarang kasih Passport-mu ke Oscar."

Eleanor mendengus, menyerah, dan mematuhi pria itu. "Jangan protes kalau biaya bensinnya bengkak bulan ini."

"Baguslah aku punya saham kilang minyak," balas Ethan, mengikuti Eleanor naik ke pesawat. Jika bukan karena memiliki keseimbangan baik, ia pasti sudah terjerembab ketika gadis itu tiba-tiba berbalik.

"Nggak usah sok." Eleanor menjulurkan lidahnya.

Nada bicara gadis itu membuat Ethan mengernyit. "Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa," jawabnya esktra ketus. Ia menghela puas ketika duduk di bangku, pinggulnya terasa sangat pegal dan punggungnya kaku.

Ethan tidak percaya. Ia memperhatikan cara Eleanor duduk yang agak meringkuk, memeluk perut, dan wajah agak kehilangan warna yang biasa menghiasinya. "Kamu sakit?"

Eleanor menggeleng.

Menghampirinya, Ethan menyentuh kening Eleanor yang terasa bersuhu rendah, kulit kakinya yang terbuka juga lebih dingin. "Biar kupanggil Oscar."

Tangan Eleanor langsung mencengkeram lengan kemeja pria itu, gerakan yang terbilang cepat untuk orang yang terlihat kurang sehat. "Jangan, please. Nggak usah panggil Pak Oscar. Pokoknya jangan." Asisten itu pasti lebih paham dan ia sedang tidak ingin dipermalukan. "Aku nggak sakit."

"Aku tidak yakin aku bisa percaya itu."

"Aku cuma sakit perut. Nanti juga hilang sendiri," jawab Eleanor pada akhirnya.

"Kamu bisa pakai toilet kalau kamu butuh. Tidak perlu malu." Ia berkata demikian agar Eleanor tak sungkan.

"Yang sakit perutku, Ethan, bukan kakiku. Aku masih bisa nendang selangkanganmu kalau kamu bikin makin kesal." Eleanor mendelik tajam, mata menyala, berkilat berbahaya.

Dark SymphonyDonde viven las historias. Descúbrelo ahora