Chapter 8: (Un)Happily Ever After

84 23 16
                                    

Cara Ethan berjalan mendekati Eleanor perlahan dan mengancam, layaknya macan kumbang yang siap menerkam mangsanya. Tenggorokan Eleanor tercekat, saraf-saraf di otaknya berkejaran mencari jalan keluar namun hanya menemukan kebuntuan. Pria di hadapannya membuatnya takut untuk buka suara, tetapi lebih mengerikan jika ia tidak segera bicara.

Secara insting Eleanor mundur hingga punggungnya menabrak lengan sofa, nyaris menjerit kala Ethan menyingkirkan tangannya dari mulut, menangkupkan rahangnya hingga mereka saling berpandangan. Melepaskan pergelangan Eleanor, Ethan membungkuk dan menopang sekaligus mengurung gadis itu dengan meletakan tangan di lengan sofa.

"Jawab aku."

Suara geraman halus itu tidak seharusnya membuat Eleanor merinding karena menikmati warna nada yang dimiliki Ethan, dan itu pertama kalinya ia mendengarnya. Terkadang apa yang ditangkap oleh telinga Eleanor membuatnya tidak fokus, sibuk menganalisa suara. Eleanor meneriakkan perintah di dalam kepalanya bahwa itu bukan saat yang tepat.

Mata Ethan yang memicing memaksa Eleanor untuk bicara, ucapkan apa saja untuk meredakan pria itu. "Aku bilang..." Apa yang mau ia katakan saja ia tidak tahu. "Nggak heran kalau... orang penting punya pistol. Ayahku juga punya."

Itu bukan alasan yang buruk, Eleanor hanya berharap pendengaran Ethan tidak setajam yang ia duga, berharap hanya mendengar setengah potong dari kalimatnya. Eleanor tidak tahu mengapa bibirnya bisa meloloskan sebuah kalimat yang berbahaya.

Cengkeraman Ethan yang mengetat dan kerutan di dahi yang semakin dalam mengirimkan sinyal panik pada Eleanor. Wajah gadis itu memucat, jantungnya berdegup menyakitkan, matanya berusaha lari dari wajah Ethan.

"Kupikir aku sudah memberimu peringatan untuk tidak berbohong padaku."

Paru-paru Eleanor seolah akan meledak karena menahan napas terlalu lama, bisa merasakan saraf tubuhnya meremang dan menusuk kulit. Reaksi tubuhnya terhadap Ethan sungguh tidak bisa ia kontrol, dan suara kecil di hatinya sudah memohon untuk mengatakan yang sejujurnya.

Eleanor berdeham untuk melonggarkan ketegangan di kerongkongannya. "Oke, oke," ia menyerah. "Aku tahu kalau kamu ma... fia. Puas?"

"Tidak sulit berkata jujur, bukan?" sahut Ethan, melepaskan Eleanor dan menegakkan tubuhnya. "Darimana kamu mengetahuinya?"

Meski sudah terbebas, Eleanor justru semakin menyudutkan dirinya. "Ayah yang bilang."

Ethan mengangkat salah satu alisnya. "Kamu percaya begitu saja? Apa Martin punya bukti?"

"Mana aku tahu," jawab Eleanor, menggerutu, bibir mencebik. "Aku emang nggak suka sama sifat ayah tapi, aku percaya karena aku tahu ayah nggak bakal asal omong buat soal sebesar itu."

"Dan mengatakannya pada putrinya sendiri? Ridiculous."

Menggerakkan mulutnya yang terkatup ke kanan dan kiri, Eleanor lalu berkata, "Ayah lagi ceramah waktu itu dan kamu jadi salah satu contoh di dalamnya buat pelajaran moral."

"Kenapa dia ceramah soal moral?" Bahkan sampai melibatkannya, Ethan tak habis pikir.

"Ayah nemuin sekantung... bubuk putih di tasku," tambah Eleanor dengan suara kecil. Ketika Ethan tampak curiga, ia buru-buru melanjutkan. "Bukan punyaku! Teman sekelasku ngira hari itu ada razia dan sengaja naruh di tasku tapi, ternyata nggak ada razia."

"Terus di hari yang sama tasku itu mau dicuci sama pembantuku dan dia nemu kantung. Kebetulan juga ayahku yang biasanya nggak ada di rumah, justru ada di rumah," ungkapnya dengan wajah jengkel, nyaris menggeram. "Dan lihat waktu Bi Ona nanya soal kantung itu. Ayah langsung tahu barang apa itu dan... ugh! Aku sudah bilang itu bukan punyaku sampai mulut berbusa."

Dark SymphonyWhere stories live. Discover now