Chapter 10: Collapse

96 26 17
                                    

Warning: Sedikit mengandung bawang.

***

Tangan Eleanor mengibaskan sesuatu yang menggelitik pipinya, mata terus tertutup mengira itu hanyalah nyamuk atau lalat yang mengganggu. Ketika gelitik itu kembali, Eleanor mengibaskannya lebih kuat, bersungut-sungut dengan artikulasi tak jelas. Gelitik kemudian berubah menjadi sesuatu menyakitkan, pipinya ditarik dengan jemari kuat.

"Bangun!"

Suara bariton itu langsung membuat mata Eleanor terbuka, tak peduli betapa beratnya. Melihat siapa yang membangunkannya dan sekelilingnya, ia baru sadar telah tertidur di ruangannya. Lagi.

"Pak Ethan," suara Eleanor terdengar masih mengambang, belum sepenuhnya bisa berkonsentrasi.

"Ethan," koreksi pria itu dalam pengucapan namanya, salah satu hal yang ia benci.

"Ethan," gumamnya dengan kelopak bergetar. "Ya, Ethan."

"Jangan tidur lagi," desak Ethan kala melihat Eleanor yang mulai menutup matanya lagi.

Dahi Eleanor berkerut kesal. "Aku bangun kok."

"Ida bilang kamu sudah tiga kali ketiduran di sini, dan ini keempat kalinya," tegur Ethan, kemudian menangkupkan tangan di dagu gadis itu agar melihat ke arahnya. "Kamu punya rumah."

"Aku ngantuk, oke?" ujarnya diseret-seret. Menghentakan kaki layaknya anak kecil, Eleanor bangkit berdiri, masih kesal karena dibangunkan. "Iya, aku pulang sekarang."

Eleanor hampir melupakan tas sekolahnya ketika berjalan keluar, namun karena matanya setengah terbuka ia tidak memperhatikan jalan hingga menabrak kusen pintu. Tidak keras hingga menyebabkannya terluka, tapi justru membuatnya terlelap kembali untuk beberapa detik, hingga Ethan menarik kerah kemeja dan setengah menyeret gadis itu keluar.

"Ini sudah lewat tengah malam, tidak seharusnya gadis sepertimu malah tertidur di tempat yang berbahaya." Meski hotelnya terbilang memiliki pengamanan ketat, namun segala sesuatunya bisa saja terjadi jika tidak berhati-hati, apalagi area tersebut sepi.

"Aku capek," rengek gadis itu. Kedua tangannya seperti memiliki kehendak sendiri dan melingkarkannya pada pinggang Ethan sambil berjalan di sebelahnya. Hotel itu begitu dingin, dan pria itu mengeluarkan panas tubuh yang memikat, ditambah lagi kakinya terasa seperti jeli, tidak ingin melangkah.

Beberapa kali Ethan harus membetulkan Eleanor yang semakin melorot, menyerah untuk berjalan. "Capek kenapa?"

"Kamu cerewet banget, sih," tukas Eleanor ketus. "Aku kurang tidur gara-gara mau UTS. Aku belajar sampai subuh, tidur cuma 2jam. Sekarang diamlah."

Ethan mencubit lagi pipi Eleanor, lebih keras dari sebelumnya. "Jangan bicara padaku seperti itu. Aku masih atasanmu," tegasnya bernada tajam.

Mendelik kesal, Eleanor melepaskan diri dari pria itu, setengah mendorongnya. Kemudian membuang muka dan berjalan meninggalkan Ethan sambil bergumam rendah pada dirinya sendiri. Belum sampai lima meter, Eleanor jatuh ke lantai dengan bebasnya.

Ethan memijat pangkal hidungnya dan mengembuskan udara panjang, sebelum membungkuk di dekat Eleanor untuk memeriksanya. Sebelumnya roman muka Eleanor memang pucat, namun kini berubah semakin putih.

Tak memiliki pilihan yang lebih baik, Ethan akhirnya memanggul Eleanor di bahunya seperti karung beras, tangan satunya lagi menghubungi Oscar agar menemuinya di salah satu kamar suite hotel yang biasa ia gunakan jika menginap di sana.

Di kamar hotel Ethan meletakan pegawainya di tempat tidur dengan hati-hati setelah melepaskan ransel dan sepatunya, lalu menaikkan selimut hingga menutupi bahu. Gadis itu terlihat seperti tenggelam di atas kasur berukuran besar dan selimut tebal. Dan juga tidak sehat.

Dark SymphonyWhere stories live. Discover now