Chapter 46: Promise

71 18 9
                                    

Kabin yang Ethan sewa memiliki ukuran yang lumayan bagi seorang miliyarder yang terbiasa hidup di griya tawang dan manor. Dua kamar tidur dengan kamar mandi terpisah, satu toilet di dekat dapur yang sekaligus menampung meja makan untuk empat orang, dan ruang tengah dengan televisi. Kemudian ada area perapian yang diisi oleh dua bangku dan barisan bantal di atas karpet, letaknya tak jauh dari pintu kaca geser yang menuju balkon tepat menghadap danau. Lantai dan dindingnya terbuat dari kayu yang sudah dipernis, dihiasi lukisan flora dan fauna. Sederhana, tapi masih modern.

Eleanor mendapat kamar yang lebih kecil dibandingkan Ethan tapi, pemandangannya lebih bagus. Setidaknya itu pendapat Eleanor setelah melihat hanya ada gunung dan pepohonan sebagai sajian di kamar Ethan.

Karena hari sudah sore dan baru saja melalui perjalanan jauh, mereka memutuskan untuk beristirahat. Namun dalam hal ini diartikan sebagai Eleanor berselonjor di sofa sambil menonton televisi dan melahap camilan dan latte, sementara Ethan sibuk dengan tabletnya. Fakta bahwa ada sinyal telepon dan internet di kota itu saja cukup mengejutkan.

Sesekali Eleanor mendengar Ethan melontarkan umpatan kasar kepada Oscar yang berbicara melalui Bluetooth ear-piece karena pria itu hanya punya dua tangan. Tablet di tangan kanan, cangkir teh sore di tangan kiri. Terkadang Ethan juga menerima makanan ringan yang diberikan oleh Eleanor dengan mulutnya, mengambil segigit setiap kali gadis itu menemukan yang menurutnya enak.

Dari apa yang dapat disimpulkan oleh Eleanor, Ethan tidak suka harus bekerja ketika ia seharusnya sedang liburan, walau hanya memeriksa dokumen, berkata Oscar bisa menanganinya sendiri, penggantinya di kantor pun mampu melakukannya. Eleanor sempat cemas salah satu saraf pria itu putus karena terlalu kencang menarik otot mata ketika memutarnya, muak dengan apapun yang ada di tabletnya, sesekali menggaruk kepalanya, membuat rambutnya yang rapi agak sedikit mencuat.

Cute, pikir Eleanor, diam-diam tersenyum.

Suara berdebam mengejutkan lamunan Eleanor tentang Ethan, menoleh dan menyaksikan lompatan terakhir sebuah tablet ke atas meja. Beruntung tablet itu diberi sampul yang terbuat dari kulit, agak tebal, dan berhasil mengamankan teknologi rapuh itu dari kerusakan permanen. Memindahkan pandangannya, Ethan sedang menghela panjang sambil meneguk minumannya kasar, menyebabkan gerakan di lehernya menjadi fokus Eleanor.

Tak berani Eleanor bertanya, tak ingin ikut campur dengan urusan pekerjaan Ethan, apalagi jika menyangkut bisnis gelapnya. Seolah pria itu akan menceritakannya jika pun ia berani bertanya. Eleanor paham jika Ethan kesal jika liburannya diganggu, ia pun juga akan merasa demikian. Satu hal yang Eleanor ketahui dari orang-orang yang memiliki karir besar adalah mereka cenderug stres oleh beban kerja jadi, liburan tentu dibutuhkan untuk mengembalikan suasana hati yang baik agar bisa lebih produktif.

"Aku penasaran," Eleanor memulai, mencuri perhatian Ethan hingga menoleh. "Kalau misalnya nanti aku sukses jadi pianis, terus punya banyak panggilan buat main atau manggung, kira-kira aku bakal stres nggak, ya? Secara aku suka banget main piano. Aku agak susah ngebayangin aku bakal stres kalau kerjaanku justru ngelakuin apa yang aku suka. Aku justru stres kalau nggak main piano atau alat musik lain yang bisa aku pegang."

"Kenapa kamu ingin tahu soal itu?"

Eleanor mengangkat bahu, mematahkan sebuah biskuit dengan giginya, mengunyah sambil memikirkan apa yang hendak ia ucapkan. "Aku sering lihat orang tuaku stres gara-gara kerjaannya, Kak Abby juga, padahal dia suka akting dari mulai remaja. Jadi aku penasaran saja, apa aku bakal kayak begitu apa nggak."

"Semua anggota keluargamu mengejar apa yang mereka inginkan sebagai karir, bukan?"

Eleanor mengangguk. Keluarga ayahnya kebetulan sudah kaya dari generasi sebelumnya dan terkenal cerdas, dua modal itu berhasil membawa Martin dan saudara-saudaranya mendapatkan gelar di beberapa bidang yang terbilang krusial dan sukses. Ibunya tidaklah berasal dari keluarga konglomerat, tapi sangat berkecukupan karena Ignasius adalah seorang pelukis yang lumayan ternama dan sering mendapat permintaan komisi. Meski demikian, biaya menyekolahkan putri semata wayangnya ke fakultas kedokteran sangatlah mahal bagi Ignasius dan tak pernah sekalipun beliau mengeluh, terus berusaha mencukupi segala kebutuhan pendidikan Diana hingga lulus dan membayar sebagian untuk gelar spesialisnya.

Dark SymphonyWhere stories live. Discover now