Chapter 49: Level Up

93 16 16
                                    

Beethoven 9th Symphony adalah sebuah mahakarya agung yang tak pernah gagal mengirimkan jiwa Eleanor ke dimensi yang tak terjangkau. Dimensi dimana Eleanor bersatu dengan musik selama satu setengah jam tanpa jeda; yang terasa lebih lama. Banyak elemen komposisi karya tersebut yang menyatakan bahwa Beethoven memang benar seorang jenius, anugerah bagi dunia dan legenda yang memiliki tempat khusus di hati banyak orang; entah itu disebabkan oleh cinta atau benci.

Dan hati Eleanor pilu ketika mengingat bahwa penciptanya tak bisa mendengar.

Namun takjub bukan main seorang tunarungu bisa menciptakan karya yang terus dipuja setelah ratusan  tahun lamanya. Banyak orang tumbuh dengan musik beliau dan terpatri permanen di dalam memori hingga menua, tak penting meski tak mengetahui siapa penciptanya.

Mungkin inilah yang dinamakan kerja tangan Tuhan dalam menunjukkan bahwa keterbatasan bisa dilampau untuk sampai ke tempat tujuan; selalu pasti ada jalan bagi mereka yang memiliki tekad dan ambisi. Filosofi inilah yang Eleanor tanamkan dalam dirinya, inspirasinya.

Ketika semua terasa tidak mungkin, Eleanor akan mengingat Beethoven dan meyakinkan dirinya bahwa rintangan dan keterbatasan yang dimilikinya tidaklah seberat seperti sang legenda itu. Jadi, ia pikir ia juga pasti bisa melalui ini semua demi berhasil menjadi seorang pianis profesional.

Eleanor bersandar lebih dalam di bangkunya, menikmati dunia khayalan di dalam dimensinya, menikmati damainya bagian ketiga dalam karya tersebut. Seluruh sarafnya seperti dipijat dan melonggarkan semua ototnya yang berat. Tak hanya itu, jiwanya pun seperti lepas dan bebas, mengingatkannya akan riak tenang danau di Hallstatt yang membuainya tanpa arah; tidak takut kemana akan dibawa dan percaya tidak akan ada ombak besar akan menerjangnya.

Memasuki bagian keempat, benak Eleanor dibanjiri oleh kenangan demi kenangan dengan kakeknya. Mulai dari sekolah Minggu sampai ICU rumah sakit. Semua memori itu terasa manis, hangat, dan kejam di saat yang bersamaan, menyebabkan dada Eleanor sesak oleh merindu.

Ode to Joy.

Itu adalah nama bagian tersebut. Bagian yang menghantarkan kegembiraan dan kebahagiaan, dan Eleanor pun merasakan demikian, namun yang mendominasi di benak adalah kakeknya terbaring lemah dengan banyak selang dan alat-alat elektronik medis yang ia tidak ketahui namanya. Kenangan indah dan menyakitkan terus berganti-gantian memenuhi kepala Eleanor, berputar hingga kepalanya pening.

Lalu Eleanor merasakan sesuatu yang lembut menyentuh pipinya, menghapus benda cair yang terjun dari sela kelopak matanya yang tertutup.

"You okay?" bisik Ethan saat Eleanor membuka matanya, secarik saputangan melayang di udara.

Menarik napas dalam-dalam, Eleanor mengangguk, menerima kain tersebut sambil membentuk dua kata, 'I'm sorry', hanya dengan mulutnya. Ia bersyukur Ethan telah memecah aliran memori yang berada di benaknya; lima tahun dan masih terekam jelas.

Ethan menjauh sebelum mengambil tangan Eleanor yang bebas untuk digenggam, sebuah bentuk gestur yang dianggap dapat menenangkan.

9th Symphony tidaklah murni sepenuhnya orkestra karena melibatkan penyanyi opera dan paduan suara untuk menyanyikan sebagian movement keempat. Ketika penyanyi bariton memulai bagiannya, Eleanor terkesiap. Warna suara pria itu begitu dalam, sanggup menggetarkan tulang dada Eleanor. Sekali lagi Eleanor diingatkan betapa berbedanya suara yang dihasilkan oleh dapur rekaman dengan konser langsung di auditorium; terdengar kasar namun terpoles indah, nyata, dan mengguggah.

Eleanor menyampirkan lengan menutupi matanya ketika paduan suara ambil bagian, kepala bersandar bangku dan tidak peduli lagi dengan postur tubuhnya lagi. Eleanor mengulurkan lengannya pada Ethan agar pria itu bisa melihat kulit dan bulu-bulu halus di sana berdiri. Di bawah penerangan yang temaram Ethan tidak bisa melihatnya, tapi ia mengerti ketika menyentuhnya, bisa merasakan respon tubuh gadis itu terhadap musik.

Dark SymphonyWhere stories live. Discover now