Chapter 3: Preparing

85 22 17
                                    

Suara mesin berhenti di depan gerbang rumah membuat Eleanor melompat dari sofa tempatnya berselonjor di depan televisi. Ia tahu siapa yang telah pulang karena mobil tidak masuk ke dalam halaman. Menyambar kendali jarak jauh, Eleanor mematikan layar yang sebenarnya ia tidak perhatikan sejak benda itu dinyalakan.

Sebelum Abigail sempat menemukan kunci cadangannya di dalam tas, pintu rumah sudah terbuka, menampilkan Eleanor yang tersenyum lebar. Dengan sorot mata curiga Abigail menatap adik semata wayangnya. Saat itu sudah jam 11 malam tapi Eleanor belum pulas, itu salah satu hal aneh menurutnya.

"Halo, Kak. Capek, ya?" sapa Eleanor dengan begitu ramah, menambah kewaspadaan Abigail.

Walaupun Abigail merasa lelah karena sudah bekerja seharian dan pulang larut malam, namun ia penasaran dengan sikap sok manis yang Eleanor tunjukkan. "Gue tahu muka lo itu. Ada apaan?"

Eleanor terkekeh, senang kakaknya tidak mau berbasa-basi. "Kakak punya gaun formal yang boleh aku pinjam nggak? Aku butuh buat acara resmi keluarga teman," ujarnya sambil menutup dan mengunci pintu depan rumah.

Kebohongan kecil yang Eleanor katakan kepada kakaknya sudah ia rencanakan masak-masak. Abigail memiliki kamar pakaian pribadinya sendiri yang berisi segala macam pakaian, sepatu, tas, dan aksesoris. Eleanor yakin Abigail punya beberapa gaun yang tidak lagi dipakainya.

"Kalau pun ada, 'kan ukuran kita beda, El. Baju gue pasti kebesaran sama lo," jawab Abigail yang berjalan menuju lantai dua rumahnya, siap untuk beristirahat. "Lagian 'kan lo pasti punya gaun sendiri, atau tinggal beli saja gitu."

"Bukannya nggak punya, tapi gaun lamaku sudah pada sempit," Eleanor berkata jujur. "Aku nggak sempat lagi belanja, acaranya lusa." Kalimat yang terakhir itu merupakan dusta. Alasan mengapa ia tak memiliki waktu untuk pergi membeli adalah karena ia menggunakannya untuk latihan piano di rumah Samuel. "Kakak 'kan gaunnya banyak, pasti ada deh yang muat."

Abigail skeptis. "Ya sudah, terserah. Tapi bisa besok aja nggak lo ngejarah lemari gue? Gue capek banget, ingin langsung tidur. Terserah juga lo mau ambil gaun yang mana."

"Beneran nih, Kak?" Mata Eleanor berbinar.

"Iya." Abigail tiba di depan kamarnya dan berkata sebelum masuk, "Tapi ingat, jangan sampai berantakan."

Terkenal dengan sifat kakaknya yang suka dengan kerapihan, Eleanor mengangguk antusias. "Pasti aku beresin kalau ada yang berantakan.

"Oke, night."

"Night. Thanks, Sist," balas Eleanor, yang dijawab dengan pintu yang ditutup. Ia kemudian berjalan menuju kamarnya yang berada di ujung lorong dengan langkah gembira.

Menodong Abigail ketika sedang lelah menjadi taktik yang selalu berhasil untuk Eleanor.

***

Sewaktu mendapatkan surel bahwa ia dipanggil untuk wawancara dan audisi Eleanor seketika panik, tidak tahu harus berbuat apa. Sesegera mungkin ia langsung menelepon teman-temannya untuk menyiarkan kabar itu secara langsung, dan reaksi mereka pun hampir sama dengan Eleanor, bahkan tidak percaya. Suara mereka semua saling tumpang tindih di telepon.

Ketidakpercayaan kemudian berbuah kecurigaan. Mereka semua memiliki teori masing-masing, mulai dari bahwa tempat Eleanor melamar kerja adalah rumah kuning hingga sindikat perdangangan manusia, atau sekte berbahaya. Eleanor kadang bertanya-tanya dari mana ide-ide itu berasal.

Akan tetapi semua itu dibantah oleh Samuel. Sembari mendengarkan teman-temannya melalui telepon, pemuda itu justru mencari informasi tentang tempat tersebut, dan hasilnya memang tidak ada hal yang mencurigakan. Kebanyakan pengunjung bahkan adalah orang-orang penting.

Dark SymphonyDonde viven las historias. Descúbrelo ahora