Chapter 37: Kisses

85 21 22
                                    

Semua pertanyaan yang diajukan oleh Ethan membuat Eleanor sakit kepala, dan yang terakhir berhasil mencuri udara dari paru-parunya. Ia tahu jawaban di ujung lidahnya, tergoda untuk menyuarakannya tapi, pikiran rasional yang tersisa tak membiarkannya. Pertanyaan itu harus ditolaknya dengan keras, takut apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ada batasan yang harus dijaga, dan jawaban Eleanor mungkin akan menjadi penentu kelanjutan hubungan mereka di masa depan. Eleanor memaksa diri untuk memutuskan dengan cepat dan masuk akal, menghentikan apapun yang sedang terjadi di antara mereka, karena itu adalah pilihan yang benar.

"Nggak."

Ethan mundur beberapa sentimeter. "Tidak?"

"Aku nggak bakal benci."

Hal ini selalu terjadi pada Eleanor, tidak mematuhi perintah otaknya. Ia seharusnya berbohong dan terus berbohong meski Ethan mungkin mengetahui kebenarannya. Memiliki keinginan mencium Ethan, atasannya, adalah awal sebuah kesalahan yang ia rasa akan menjebloskannya pada jurang tak berdasar. Masih ada kesempatan bagi Eleanor untuk menarik pernyataannya tapi, mulut justru diam seraya mencengkeram selimut dengan napas tertahan, menunggu reaksi Ethan.

Perlahan tangan Ethan terangkat, membuat sekujur tubuh Eleanor menegang namun tak menghindar, mencoba memberanikan diri jika benar pria itu akan menciumnya. Dengan warna yang begitu merah Ethan tahu pipi Eleanor pasti terasa hangat, namun sejuk di bawah telapaknya yang lebih panas. Bahkan pendingin ruangan tak mampu menurunkan suhu.

"Breath, Eleanor," bisik Ethan mengingatkan, mengusap ibu jarinya pada tulang pipi gadis itu dengan sentuhan halus dan menghipnotis, menenangkan.

Sungguh, Eleanor merasa bodoh karena tidak ingat kebutuhan dasar mahkluk hidup. Nyaris ia tersedak karena terburu-buru menarik napas ketika merasakan paru-parunya terbakar, memohon pergantian udara. Dalam hati Eleanor berharap ia sedikit lebih berpengalaman demi tidak mempermalukan dirinya lebih jauh di hadapan Ethan, agar tidak tampak gugup dan antusias di saat yang bersamaan.

Sudut mulut Ethan terangkat melihat Eleanor yang kaku dan gemetar, menunjukkan betapa butanya gadis itu pada keintiman. "Rileks. Kamu terlihat seperti akan dihukum gantung alih-alih dicium."

Eleanor melipat bibirnya sebelum menjawab, "Pokoknya cium saja, nggak perlu banyak komentar." Kalimat itu terlontar seakan ia sedang memaksa Ethan, terdengar seolah berciuman adalah sebuah tugas yang berat untuk dilakukan. Padahal itu karena saraf-sarafnya yang tegang, tidak tahu harus berbuat apa, bicara apa.

"Seperti yang kamu lakukan di istana?" Ethan terkekeh melihat Eleanor yang meringis, ingin melupakan memori itu. "Biar kuberitahu, ciuman itu tidak sekadar menempelkan bibir dengan bibir. Ciuman itu tentang penerimaan dan keterbukaan, biarkan terjadi tanpa paksaan dan mengalir apa adanya."

"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa," ujar Eleanor jujur. Ia tidak dalam kapasitas untuk memikirkan filosofi omong kosong.

Bahu Ethan bergetar kembali, matanya berbinar jenaka. "Rilek saja, Eleanor," ulangnya. "Apa makanan kesukaanmu?"

Pertanyaan tak diduga itu menyebabkan Eleanor mengernyit, namun memutuskan untuk menjawabnya karena itu mengalihkan pikirannya untuk sejenak. "Sup iga sapi."

Ethan mendengung dalam, lalu mengecup dahi Eleanor dengan tangan masih di pipi dan jemarinya terselip di rambut. "Pedas?" Satu hal yang ia ketahui dari liburan mereka adalah gadis itu menyukai makanan yang menyiksa indera perasa.

Eleanor tersenyum kecil, mengangguk, matanya otomatis tertutup. "Uh-uh. Nasinya juga harus wangi daun jeruk."

"Spoiled brat," gumam Ethan, kemudian kecupannya bergeser ke pelipis, tepat di sudut alisnya yang melengkung lembut. "Apa warna kesukaanmu?"

Dark SymphonyDove le storie prendono vita. Scoprilo ora