Chapter 7: On Edge

103 25 43
                                    

Eleanor cukup familiar dengan bahasa dan logat Prancis, tapi bukan berarti ia paham, hanya tahu bahwa pria yang baru saja datang menggunakan bahasa tersebut. Ia juga secara insting bergeser agar tidak terlalu dekat karena pria itu asing baginya, dan memberikan aura yang tidak menyenangkan.

Senyum pria itu justru membuat Eleanor menjaga jarak, ditambah lagi berada dalam satu lingkup dengan dua pria yang terlihat seperti keluar dari lukisan membuatnya jengah, merasa seperti bebek buruk rupa. Dan walaupun seragam sekolahnya terkenal akan bahannya yang berkualitas, tapi kini ia merasa pakaiannya lusuh.

Melirik ke seluruh ruangan, Eleanor terkejut melihat semua orang berhenti melakukan kegiatannya. Hening dan tegang. Apa pun sebabnya yang pasti berhubungan dengan pria yang baru datang itu. Nyeri di perut Eleanor kembali dengan alasan yang berbeda, waspada dengan kemungkinan terjadi masalah.

Semua pikiran itu terbang ke angkasa kala tangan pria berambut cokelat terang di sebelahnya menangkap bahu Eleanor dan menggesernya kembali, membuat tubuh mereka menempel. Tangan itu besar dan beratnya terasa melebihi yang seharusnya, tidak sesuai dan tidak nyaman bagi Eleanor. Sentuhan yang membuatnya beringsut melengkung guna melindungi dirinya.

"Jangan jauh-jauh, gadis manis, aku tidak keberatan," ujar pria itu, suara semerdu merpati walau Eleanor tidak mengerti apa yang dikatakannya.

Ekspresi Eleanor terlihat seperti bertemu dengan hantu dan tubuhnya yang membeku tidak luput dari Ethan.

"Ives," sapa Ethan, lagi-lagi membuat Eleanor kagum betapa cepatnya pria itu mengubah aksen. "Apa yang membuatmu datang ke sini?"

Ives mengabaikan Ethan dan memberikan perhatian yang tidak diinginkan oleh Eleanor. Ketika lelaki Prancis itu menangkupkan rahangnya, sentuhannya membuat Eleanor merinding dan bukan hanya karena tangannya yang dingin.

Kala Ives mendekatkan wajahnya dengan tujuan yang tidak diketahui Eleanor namun, juga tidak ingin menyesalinya dengan tidak menggunakan refleknya, ia mengarahkan garpu yang sedari tadi di tangannya ke arah pria itu. Alat makan itu begitu dekat dengan mata cokelat Ives, lengkap dengan sisa-sisa krim kue.

Sekarang Ives yang tercengang.

Tanpa Eleanor sadari tindakannya telah memicu seseroang menodongkan pistol dari belakang Ives ke arah gadis itu. Tak sampai satu detik kemudian suara kunci pengaman senjata lainnya terdengar dari sebelah Ethan, mengarahkannya ke orang yang mengacungkan pistolnya ke Eleanor. Begitu pun seluruh tamu yang seketika berdiri dengan kuda-kuda lebar, seperti mempersiapkan diri untuk bertarung atau melakukan sesuatu yang berbahaya lainnya.

Paru-paru Eleanor seakan berhenti bekerja dan hanya bisa terdiam, dengan garpu masih dalam posisi untuk melindunginya, tidak goyah sedikit pun. Ia bisa merasakan darah berlarian pergi dari wajahnya, punggungnya dingin namun keringat mengalir.

"Armand," Ives memanjangkan kepalanya ke arah anak buahnya. "Tidak di depan seorang perempuan. Turunkan pistolmu. Kamu menakuti gadis kecil ini." Ia lalu menoleh kembali pada Eleanor ketika puas perintahnya dipatuhi. "Maafkan dia. Dia tidak tahu bagaimana berperilaku di depan wanita. Salahku juga karena sudah sembarangan."

Eleanor ingin berteriak bahwa ia tidak paham apapun yang dikatakan pria itu, dan wajahnya yang terus tersenyum dalam situasi ini justru membuatnya takut pada Ives. Atmosfer restoran itu sudah berubah mencekam, dan yang lebih mengherankan adalah tak satupun tamu berlarian dan panik melihat senjata dikeluarkan.

Seketika cengkeraman di bahunya hilang, Eleanor langsung mundur dan mengutuki posisinya yang terhimpit oleh tembok di belakangnya. Ia ingin menjauh dari pria itu, hingga paling tidak ada sebuah samudera di antara mereka.

Dark SymphonyWhere stories live. Discover now