Chapter 2: Ambition

123 29 20
                                    

Mencoba berpura-pura tak merasakan empat pasang mata yang tertuju padanya dengan sorot menyelidik merupakan hal yang sulit bagi Eleanor. Tegukan es latte yang disajikan oleh ART Samuel pun tak dapat menyingkirkan rasa jengahnya. Tatapan teman-temannya seperti menuduhnya tidak memiliki akal sehat.

Ketika istirahat siang sekolah Eleanor menceritakan apa yang telah ia lakukan malam sebelumnya sambil menahan malu, meski mulutnya komat-kamit berusaha membela diri dan justru menyalahkan Beethoven. Teman-teman Eleanor sama sekali tidak mengerti mengapa ia menyalahkan pria yang sudah lama wafat.

'Bang Beetho beneran yang bikin gue ngirimin itu CV. Sumpah. Kalau gue nggak dibisikin juga gue nggak bakal bikin."

Alhasil tidak ada satu pun temannya yang percaya dengan Eleanor karena, mereka tidak mengerti dorongan yang ia rasakan. Seperti hatinya terpuntir menyakitkan jika tidak memberanikan diri mengirim berkas lamarannya. Kini Eleanor tidak tahu apakah ia akan lebih kecewa kalau tidak melakukannya, atau justru sebaliknya.

Selepas menimba ilmu yang tidak diserap oleh Eleanor, mereka memutuskan untuk pergi ke rumah Samuel dan membahas semuanya. Dimulai dari Bobi, Monica, Raka, dan Samuel berkerumun untuk melihat isi surel Eleanor dari ponsel gadis itu. Satu persatu dari mereka mendongak untuk menatap Eleanor seakan ia hewan langka.

Keheningan hanya diisi oleh suara Eleanor yang lagi-lagi meneguk minumannya, sebelum Bobi memecahnya dengan tawa menggelegar dan diikuti oleh yang lainnya. Merona sudah pipi Eleanor mendengar kegelian teman-temannya, malu hingga ia menyembunyikan wajah pada bantalan sofa di kamar Samuel.

"Lo pasti benar-benar nggak mikir waktu ngirim ini CV," Raka geleng-geleng kepala diselingi tawa kecil.

"Terus copas dari halaman Google paling atas," tambah Bobi dan melanjutkan gelaknya. "Sudah mana isi riwayat hidup pendek banget. Sedih banget, El, sedih."

Eleanor mengangkat kepalanya sambil mengedarkan tatapan kesal pada teman-temannya. "Puas-puasin sana ngetawain gue. Rese lo semua."

"Lagian lo juga ngapain ngelamar ke tempat yang sudah tahu lo nggak bakal dipanggil?" tanya Monica, bingung namun geli. "Mending lo kerja di tempatnya Om Bernard, tinggal enak doang."

"Cerewet," tukas Eleanor, bangkit duduk dan melipat kakinya ke atas sofa.

"Gue yakin orang HRD juga ketawa ngelihat ini," tambah Bobi, meraih gelas minuman dinginnya dari atas meja berkaki rendah, tenggorokannya kering setelah terbahak-bahak.

"Gue putus asa, oke?" Eleanor mengakui dengan ekspresi menyerah. "Gue ingin kerjaan itu, lebih seru gitu ketimbang daripada kerja sama Om Bernard. No offense, Sam."

Samuel mengangkat dagunya dari posisi membungkuk menatap ponsel Eleanor sebelum mengembalikan pada pemiliknya. "None taken."

"Memang sih dapatin kerjaan di umur kita-kita ini agak susah, kecuali lo punya usaha atau punya koneksi," Raka mengangkat bahu. "Lo bisa dapat kerja dari Om Agus dan dapat tawaran dari Om Bernard itu suatu berkah banget, El."

"Betul," Monica menyetujui. "Target utama lo 'kan buat ngehasilin uang, jadi ambil kesempatan yang sudah di depan mata saja kalau menurut gue."

"Iya, sih." Eleanor tidak bisa membantah nasihat teman-temannya.

Bobi memperhatikan Eleanor dari pinggiran gelasnya. "Gini saja deh, kalau lo nggak dapet panggilan buat wawancara, lo mending terima tawaran kerja di kantor Om Bernard. Gimana?" Ia lalu melanjutkan, "Setelah ini lo nggak ada lagi cari-cari kerjaan jadi pianis."

"Kok jadi lo ngatur-ngatur?" tanya Eleanor, mulai kesal dengan Bobi yang sedari tadi hanya mengejek dan kini seolah ingin mengontrolnya. "Gue yang kerja juga, gue yang berhak milih."

Dark SymphonyUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum