Chapter 13: Second Chance

74 21 16
                                    

Pertanyaan itu seperti menampar Dewi dengan kursi baja oleh Hulk. Matanya melebar dan mulutnya terbuka. Ia memang meminta Eleanor untuk tidak berbasa-basi, tetapi bukan pertanyaan itu yang Dewi duga.

Karena Eleanor adalah seniornya dan bertanya tentang klub musik, Dewi mengira gadis itu adalah salah satu antek-antek Rebecca yang sedang menyelidikinya.

"Maksud Kakak korban bully?" Dewi menggeleng. "Kak Becca sama sekali nggak bully aku."

"Gue nggak akan bilang siapapun kalau lo emang di-bully dia."

Kecurigaan Eleanor bertambah melihat betapa tak nyamannya Dewi. Ia tahu ia mungkin telah mengorek luka yang terpendam tapi, ia geram melihat Rebecca terus menggunakan segala cara untuk membahagiakan dirinya sendiri. Keegoisan itu tidak bisa diterima oleh Eleanor.

"Nggak, Kak, aku nggak..."

"Karena gue juga salah satu korban bully dia," lanjut Eleanor dengan lugas. Ia pikir jika ia buka-bukaan, pemudi itu juga akan melakukan hal yang sama.

Barter.

Dewi membeku dan menatap Eleanor tidak percaya. "Kak El di-bully Kak Becca?"

Eleanor mengangguk santai. "Becca nggak bisa ngelihat orang yang setara atau lebih jago main piano daripada dia. Itu kayak ancaman buat dia jadi, caranya buat nyingkirin gue dengan nge-bully gue. Dan dia berhasil bikin gue keluar karena muak," ia membuka cerita. "Walaupun nggak secara fisik tapi, verbal abuse juga salah satu bentuk bully. Bu Santi masih jadi guru pembimbing?"

Dewi menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil.

"Dia pasti nggak ngapa-ngapain waktu lo dikata-katain, kan?" Pemudi itu menunduk kalah, kali ini menggeleng singkat. "Dan anak-anak klub juga nggak ada yang berani belain." Kalimat itu bukanlah pertanyaan.

Eleanor menatap sedih Dewi, merasa memiliki sebuah ikatan karena mereka melalui hal yang sama di tempat yang harusnya merasa nyaman. Rebecca berhasil membuat mereka berdua terasingkan, meragukan diri sendiri dalam gelembung pribadi, dan pahit karena berpikir tidak cukup baik dalam bermain piano.

Berada di klub musik merupakan hal paling merugikan dalam hidupnya.

Hal yang membuat Eleanor sadar bahwa Rebecca terintimidasi oleh kemampuannya adalah saat ia berhasil memainkan karya Chopin – Winter Wind tanpa sedikit pun kesalahan kunci dan tempo yang tepat. Ia masih ingat tatapan penuh kebencian yang diberikan Rebecca, mengatakan bahwa Eleanor telah menghina Chopin dengan permainannya yang buruk.

'Lo ini sadar diri nggak sih, El? Kalau lo nggak bisa mainin Chopin, nggak usah banyak gaya. Sok-sok milih karya kayak begini. Buat apaan? Mamerin kalau skill lo payah? Malu, El, malu.'

'Kita yang dengar ini saja merasa tersinggung, apalagi yang punya karya? Dan nggak usah pake alasan kalau itu cara lo interpretasiin karya karena cara lo itu salah.'

Masih dalam kondisi yang begitu bangga pada dirinya, hingga kata-kata jahat itu tidak menembus hatinya, Eleanor akhirnya melihat ada sorot takut di mata Rebecca, dan juga amarah.

Eleanor mengenali ketakutan karena seperti itulah dirinya kala tidak percaya diri akan kemampuannya, seolah ia tidak pantas untuk menyentuh sebuah piano apalagi memainkannya. Tetapi Rebecca menekan rasa takut itu dengan marah kepada orang yang membuatnya demikian, mencoba untuk mematikan api yang mengancamnya.

Saat itulah Eleanor memutuskan untuk keluar dari klub musik. Ia tidak ingin lagi berada di tempat yang justru hanya menjadi racun bagi dirinya, seperti dirinya adalah racun bagi Rebecca. Rebecca tidak bisa menerima keberadaan Eleanor yang mungkin akan mencuri sorotan cahaya yang selama ini menghujanjinya.

Dark SymphonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang