Chapter 51: Rage

96 17 14
                                    

Eleanor baru saja selesai tampil di hotel dan berencana mencuri kue dari dapur sebelum pulang. Namun pintu ruangannya diketuk ketika ia hendak membuka loker guna mengambil baju gantinya. Setiap kali pintu itu diketuk, Eleanor merasa jantungnya berpacu tanpa ia tahu mengapa.

Sebenarnya ia tahu, hanya saja tidak ingin mengakuinya.

Ia berharap Ethan yang datang menemuinya.

Sampai saat ini, 2-minggu setelah kepulangannya, Eleanor belum menghubungi Ethan, begitu pula sebaliknya. Tak ada kabar sama sekali, Eleanor bahkan ragu pria itu sudah kembali ke Jakarta. Rumor di hotel juga tidak ada bisik-bisik tentang kedatangan Ethan. Eleanor selalu menghela kecewa setiap kali menatap nomor Ethan di ponselnya, tak mengerti apa yang membuatnya begitu berat untuk meneleponnya, atau paling tidak mengirimkan sebuah pesan.

Mungkin Eleanor takut.

Pikiran tentang Ethan langsung hilang ketika melihat siapa yang datang ke ruangannya.

Eleanor berkacak pinggang di ambang pintu. "Mau ngapain lo?"

"Lo harus ikut gue. Sekarang," perintah Becca, tegas pada setiap patah katanya. Postur tubuhnya juga tidak kalah menantang, apalagi ditambah dua temannya di belakang.

"Gue nggak mau," balas Eleanor tak kalah blak-blakan. Namun pintu yang hendak ia tutup di dorong oleh Becca dengan keras sampai terhempas ke dinding, bahasa tubuh agresif. Eleanor mengerjap, tercengang oleh sikap Becca yang luar biasa kasar dan juga ia nyaris terkena benturan pintu. "Dasar siluman gila! Lo mau bikin gue luka, hah?"

"Gue bakal bikin keributan di sini kalau lo nggak ikut sama gue," ancam Becca, telunjuknya terarah di muka Eleanor, kuku pendek mengkilap oleh cat. "Bos lo pasti nggak bakal suka ngundang orang luar ke sini dan bikin kacau hotelnya."

Itu juga yang menjadi pertanyaan Eleanor dari dulu. Ia tidak tahu bagaimana caranya Becca masuk ke area yang dikhususkan untuk para karyawan, ruangan Eleanor termasuk di antaranya. "Lo ini emang nggak punya kerjaan banget, ya? Daripada lo gangguin gue, lo mending latihan piano atau cari pacar sana. Biar sibuk, soalnya gue nggak punya waktu buat orang kayak lo. Mending penting."

Tiba-tiba Rebecca menjerit, dan pintu yang terbuka membawa suara itu ke lorong. Eleanor reflek menutup mulut Rebecca dengan sebuah tamparan, ekspresi tercengang.

"Anjing!" bisik Eleanor.

Rebecca menampik tangan di mulutnya, tidak terima telah ditampar, lalu menarik rambut Elanor dengan kuat hingga meringis kesakitan. "Dengar ya, jalang, gue juga nggak level berurusan sama lo, tapi gue terpaksa. Lo sudah bikin gue marah sepanjang kehidupan SMA gue jadi, lo mending turutin gue sebelum gue bikin kepala lo pitak. Ngerti!?"

Eleanor bisa merasakan panas di akar rambut dan matanya, perihnya tak tertahankan. Ia ingin melawan dan menendang Rebecca, tapi tahu itu akan membuat keributan yang dijanjikan. Tak percaya dirinya harus menyerah. "Oke, oke. Lepasin rambut gue!"

Tangan Rebecca melepaskan Eleanor setelah mendorongnya ke belakang. "Jalan!"

"Gue ganti baju dulu."

"Sekarang!"

"Tas!" balas Eleanor tak kalah keras, menyebabkan ruangan itu berisik. Tidak ada yang datang karena jeritan Rebecca saja sudah anugerah. "Nggak usah dorong-dorong."

Eleanor membanting pintu mobil Rebecca ekstra keras sekadar menjadi orang picik, berharap rusak dan kesulitan menjelaskan penyebabnya. "Apa lihat-lihat?" bentaknya pada Fania yang duduk di sebelahnya.

"Mata gue rusak kalau ngelihatin lo," balas Fania, sama sewotnya.

"Bagus. Lihatin terus gue, biar mata lo busuk terus buta dan nggak ada dokter yang bisa ngobatin. Rugi juga nyumbangin mata buat sampah kayak lo."

Dark SymphonyOnde histórias criam vida. Descubra agora