Chapter 43: Crossing Over

142 21 24
                                    

Kulit yang terbakar menyambut curahan air dingin dengan pori-pori terbuka, mengalir dari bahu lebar dengan otot keras dan kelewat tegang, bergerak untuk melenturkannya kembali, untuk mendorong keluar semua hasrat yang tersisa. Guna menolak bayangan kotor di benaknya dan berusaha mengabaikan bukti gairahnya yang berkobar, Ethan lari ke konflik dalam pekerjaan dan hidupnya, apapun yang bersifat berbanding terbalik dengan gadis di tempat tidurnya, pulas dan terpuaskan.

Tak seperti Ethan.

Gold diggers, drugs, transactions, weapons, exotic animals, money-laundry, smuggling, trafficking. Anything!

'Anything I want, no?'

Ethan mendongak, membiarkan air menampar wajah untuk mengembalikannya pada kenyataan, membiarkan dingin membasuh bayangan kotor di kepalanya. Namun ia tahu seberapa kalipun ia mencuci otaknya, memori itu akan menempel padanya dan dalam berbagai kesempatan akan muncul keluar dan mengejutkan Ethan tanpa mengenal waktu dan tempat.

Dirasa paru-parunya akan meledak karena menahan napas, Ethan menurunkan kepalanya, memandang tangan kirinya, mengingat beberapa helai rambut Eleanor yang rontok tersangkut di jemarinya dan lolos di suatu tempat, berharap ia menyimpannya. Berpindah ke tangan kanannya–Ethan seharusnya sudah menduganya–ke tangan yang menyentuh gadis itu hingga mencapai klimaks dengan begitu mudahnya.

Ada rasa bangga karena berhasil menjadikan pengalaman pertama Eleanor menyenangkan, bangga untuk menjadi pertama untuk melakukannya. Di umur 28-tahun dan sudah cukup matang Ethan merasa itu bukanlah hal yang penting, bukan hal yang patut untuk dibanggakan seperti remaja yang menyombongkan diri soal kemampuan seksualnya dan berhasil mengambil keperawanan seorang perempuan. Namun perasaan itulah yang hinggap di dalam diri Ethan, bangga, dan ia pikir itu bodoh, konyol. Bukan jenis bangga yang membuatnya arogan–meski egonya tetap membumbung–tapi, kebanggaannya berdasarkan kebahagiaan yang menyentuhnya dengan lembut.

Dan jangan mulai dengan rasa.

Jakun Ethan bergerak, seakan sedang meneguk sesuatu, sisa-sisa rasa Eleanor yang seharusnya sudah tidak ada, habis oleh inderanya yang rakus. Namun, jika Ethan berkonsentrasi lebih dalam dan jauh, ia masih bisa menangkap manisnya madu pada celah di lidahnya, jejak yang menghantui rongga mulutnya. Jika menuruti keinginannya, Ethan dengan senang hati membersihkan bukti puncak Eleanor, membayangkan kubangan madu yang berkumpul di pinggul gadis itu, tersia-siakan begitu saja.

Ethan memutar pengatur suhu menjadi lebih dingin, meringis tapi menahannya. Tubuhnya sudah dalam kondisi menggigil, jemari keriput, dan ketika yang bisa ia pikirkan hanyalah dinginnya air, perlahan hasratnya menguap diiringi oleh gemeletuk gigi. Setelah mematikan pancuran, Ethan buru-buru mengeringkan diri dengan handuk, bayangan di cermin memantulkan wajahnya yang pucat, bibir menggelap, ujung rambutnya sedikit lembap.

Keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya–ia menolak mengenakan piyama sebelumnya yang aromanya bercampur dengan Eleanor dan berupaya tidak meraih secarik kain di keranjang pakaian kotor–Ethan menuju kamar pakaian sambil melirik gadis di tempat tidurnya, tidak bergerak dari posisi sebelumnya. Mengenakan piyama baru, Ethan keluar dengan sebuah kemeja dan sweatpants di tangannya dan naik ke tempat tidur perlahan, tak ingin menyentak kasur dengan berat tubuhnya dan mengganggu Eleanor.

"Shhh... Sleep, Sweetheart," bisik Ethan ketika Eleanor mengiggau kala ia berupaya melepaskan pakaian gadis itu, lembap oleh keringat, tak ingin membiarkan gadis itu masuk angin. Ini bukan pertama kali Ethan melakukannya.

Membuang atasan Eleanor, Ethan lalu memakaikan kemejanya, menenggelamkan gadis itu di dalamnya. Setelah dirapikan panjang pakaian itu mencapai tepat di atas lutut Eleanor, menutupi celana piyamanya, barulah Ethan berani membuka sebagian selimut untuk melepaskan bawahan gadis itu. Ethan melempar celana itu ke lantai, menahan diri untuk tidak meneliti penyebab lembapnya kain itu selain keringat, ia sudah tahu itu, ia tidak butuh visual untuk membuktikannya. Ia tidak ingin mengacaukan pikirannya lebih dari apa yang telah terjadi.

Dark SymphonyWhere stories live. Discover now