Chapter 44: Melting

118 18 16
                                    

"Kamu yakin tidak mau ganti baju dulu?" tawar Ethan. Tak tahan melihat Eleanor yang kesulitan menggulung lengan kemeja, ia akhirnya mengambil alih. "Sini, biar aku saja."

Seusai mereka bercumbu lagi setelah pernyataan menggemaskan dari Eleanor–hingga lutut gadis itu gemetar tak terkendali–Ethan memutuskan untuk menyudahinya dan mengalihkan perhatian dengan mengajaknya sarapan, yang kebetulan sudah dipesan dan ditata di meja; lengkap dengan latte dan espreso. Ethan bisa melihat kekecewaan di mata Eleanor saat itu, yang cukup membuat pria itu menyerah dan akhirnya mencuri kecupan singkat namun tak melanjutkannya, tak memancing lebih jauh.

Dengan senang hati Eleanor mengulurkan lengannya, sedikit jengkel karena tak bisa melakukannya sendiri. Bukannya juga itu salahnya karena lengan kemaja itu memang panjang dan terlalu lebar untuknya. Jika tidak digulung ia tidak akan bisa melakukan apa-apa.

"Nope, I'm comfy." Eleanor menggeleng, menyeringai lebar, menampakan giginya yang sudah disikat bersih, dan mulut beraroma mint segar.

Ethan menyungging senyum kecil, tangan cekatan menggulung dengan gerakan berpengalaman, hingga jatuh tepat di bawah siku Eleanor dalam keadaan rapi. "You do look comfy," balasnya, berpindah ke lengan selanjutnya yang diulurkan Eleanor tanpa disuruh.

Selama sarapan tak ada satu pun buka suara tapi, seringkali Eleanor melirik pria di hadapannya, memperhatikannya menikmati sarapan lebih lambat daripada biasanya, jari telunjuknya sesekali mengusap pinggiran cangkir espresso-nya, otot tangannya merenggang setiap kali bergerak, entah mengapa itu yang menjadi pusat fokus. Sebaliknya, Ethan justru secara terang-terangan menatap Eleanor, tidak mencuri-curi, menyatakan dalam bisu bahwa ia menyukai pemandangan dengan gadis itu sebagai objeknya, lebih menikmatinya dibandingkan sarapan yang dibuat sangat hati-hati oleh koki profesional.

Eleanor mendapati dirinya menyilangkan kaki di bawah meja, lalu menurunkannya kembali, mengulanginya terus-menerus tanpa ia sadari. Perhatian pria itu memang mampu membuat Eleanor gelisah dan kikuk tapi, tidak pernah sampai pada titik seluruh dirinya seperti sedang tersengat listrik. Jika Eleanor sekali lagi menyilangkan kakinya, ia khawatir Ethan akan berpikir ada yang salah dengannya atau yang lebih parah terkena serangan kejang-kejang.

Namun Eleanor juga tidak bisa menahan reflek tubuhnya sendiri karena pagi itu seperti ada yang berbeda, tatapan mata biru itu berbeda–kembang api biru–bahkan cara matahari menyinari bumi, menembus kaca beranda, berbeda. Jauh lebih berkilau. Segala akan tentang pria itu membuatnya sesak dua kali lipat daripada biasanya, mencuri seluruh udara di sekitar mereka, menyebabkan degup jantungnya menyakitkan.

Untuk kesekian kalinya Eleanor mengalihkan pandangannya untuk beristirahat, menarik napas yang sempat hilang, mengembalikannya agar teratur dan tidak mencekik dirinya sendiri. Berdeham canggung, ia mengangkat mug latte-nya dan meneguknya dalam volume besar, meski itu tidak bijaksana mengingat ia baru saja bernapas kembali. Eleanor berpikir mungkin tersedak lebih baik daripada memiliki paru-paru yang mengempis.

"Good afternoon."

Mengangkat kepalanya, bahu Eleanor merosot lega oleh kedatangan Oscar yang masuk tanpa mengetuk pintu, melenggang dengan langkah anggun hingga mampu sihir di ruangan. Sang asisten mengenakan pakaian kasual, rambut di sisir hingga bercahaya bak emas leleh dan diikat rendah di tengkuknya. Meski Ethan memiliki pesona fisik yang membuat banyak orang terdiam, Oscar justru memiliki paras yang... lancang, pikir Eleanor. Menurutnya itu kata yang tepat karena, Oscar terkesan demikian bagi Eleanor, sebagian besar kemungkinan disebabkan dari caranya bersolek dan juga rambutnya yang panjang.

Ethan membalasnya dengan gumaman rendah, yang akhirnya mengalihkan perhatian ke asistennya, lalu menyembunyikan seringai di balik cangkirnya ketika melihat dahi Oscar berkerut menatap Eleanor yang tenggelam dalam pakaian kebesaran. Eleanor yang tidak paham hanya mengerjap, mata membulat penuh tanya mengapa sang asisten mengawasinya seperti elang terhadap makan siangnya.

Dark SymphonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang