Chapter 5: Confession

114 26 29
                                    

"Bapak kenal sama orang tua saya?" Eleanor menutup mata ketika mendengar suaranya yang bergetar.

"Saya tahu mereka, mereka tahu saya, tapi 'mengenal' istilah yang terlalu dekat untuk hubungan yang hanya sekadar pernah bertemu di acara-acara tertentu," jawab Ethan. "Kamu terlihat pucat. Ada apa?"

Mendadak Eleanor merasa seperti rusa yang sedang dikejar oleh pemburu. Ini sama sekali bukan topik yang ingin ia bahas. Jika saja Ethan hanya bertanya soal orang tuanya ia masih bisa menjawab dengan kebohongan lain, namun pria itu spesifik menggunakan nama.

Meski Ethan berkata ia tidak memiliki hubungan dekat, tetapi tidak menghapus fakta bahwa pria itu dan orang tuanya saling mengenal satu sama lain. Ini juga yang Eleanor takutan ketika Ethan mulai menyinggung soal keluarganya. Sudah pasti pria itu menyelidiki seluruh hidupnya lebih daripada yang ia berikan di dalam dokumen,

"Ah, kutebak orang tuamu tidak mengetahui keinginanmu untuk mencari pengalaman." Itu bukanlah pertanyaan melainkan sebuah fakta yang dinyatakan secara gamblang.

Tatapan Eleanor yang terpaku pada tangannya terangkat, dan saat itu ekspresi Ethan berubah. Bukan berubah menyenangkan, melainkan seakan ia baru berhasil menangkap buruannya. Bulu kuduk Eleanor berdiri, saraf-sarafnya meremang, namun karena alasan yang salah.

Pria itu tampak tampan.

Seringai tipis serta sorot mata birunya yang jenaka terlihat kejam dan mempesona di saat yang bersamaan. Ethan seperti mendapatkan kegembiraan karena telah berhasil memojokkan Eleanor, selera humor yang buruk. Seperti untuk merayakan keberhasilannya, pria itu menyalakan sebuah rokok dengan mata terus tertuju pada Eleanor.

Lagi-lagi Eleanor harus berdeham, kerongkongannya terasa menyempit. "Memang benar saya nggak kasih tau orang tua saya tapi, itu karena..."

Ethan mendecak lidah, untuk kesekian kalinya memotong kalimat gadis di hadapannya. "Eleanor si Gadis Nakal."

Wajah Eleanor memerah mendengar suara Ethan yang diseret-seret, mengutuki dirinya bahwa itu bukan waktu yang tepat untuk mengaggumi suara bariton milik pria itu. Tak bisa dipungkiri getaran suara itu membuatnya gelisah, dan bukan disebabkan oleh rasa takut. Ditambah lagi ada sensasi lain ketika namanya diucapkan secara lengkap, tidak hanya sekadar 'El.'

'Eleanor.'

Namun rona itu langsung sirna kala pria itu melanjutkan kata-katanya.

"Saya akui kamu lumayan pintar berbohong dengan..."

"Saya nggak bohong," kali ini Eleanor yang memotong kalimat Ethan dengan bantahan keras, namun langsung menyesalinya ketika ekspresi pria itu berubah gelap.

"Jangan. Memotong," tandas Ethan dengan suara ditekan dan dingin, jemarinya yang memegang rokok terarah pada Eleanor.

Api kemarahan mulai tersulut dalam diri Eleanor. Pria itu dengan lancang beberapa kali memotong ucapannya, tetapi tidak suka jika dipotong. Bukan berarti pria itu bisa seenaknya hanya karena memiliki status sebagai direktur.

"Tapi saya memang nggak berbohong," lanjut Eleanor dengan berani, menyilangkan kedua lengannya dan ekspresinya cemberut.

Salah satu alis Ethan terangkat, sama sekali tidak menyukai sikap gadis itu. "Memang tidak semua yang kamu katakan adalah kebohongan, kamu menyembunyikannya dengan beberapa kebenaran. Tetapi satu hal yang pasti adalah kamu berbohong soal alasanmu bekerja, dan saya masih ingin mendengar alasan mengapa kamu tidak memberitahu orang tuamu."

"Saya nggak bo–" Masih terus mencoba membantah.

Fake it until you make it.

"Saya tidak akan memberitahu orang tuamu kalau kamu mengatakan yang sebenarnya," tawar Ethan. "Kamu takut soal itu, kan?"

Dark SymphonyWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu