Chapter 48: Discovery

96 18 16
                                    

Napas Eleanor masih memburu kala adrenalin perlahan turun ke titik yang lebih nyaman. Jantungnya masih berderu disebabkan oleh matanya yang tak ingin lepas dari wajah Ethan, begitu dekat, memperhatikan setiap sudut baru, mempesonanya. Hal baru yang ia temukan adalah ada garis tipis pada tepi rambut yang terhubung dengan dahi. Bekas luka itu tidak terlalu kentara karena warnanya yang hampir menyerupai kulit wajah dan sedikit tertutupi oleh anak rambut.

Eleanor ingin bertanya, namun membatalkannya karena takut yang ia dapatkanlah penolakan Ethan untuk menjawab dan mengakibatkan suasana di antara mereka rusak. Mengingat mungkin saja penyebabnya merupakan cerita yang tak boleh dikuak, bukannya Ethan tidak bisa berbohong, dan untuk saat ini Eleanor sedang tak ingin menelan dusta.

Kecupan kilat di hidung Eleanor menyadarkannya dan terkikik geli, menghela panjang penuh kepuasan, menatap Ethan yang bergerak menjauh, berlutut di hadapannya. Penampilan pria itu agak berantakan tapi, tidak akan ada yang tahu mengenai perbuatannya tak sampai lima menit lalu. Eleanor yakin dengan memberi sedikit waktu Ethan akan terlihat sama rapi seperti sebelumnya, tidak ada keraguan.

Namun Eleanor tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk dirinya.

Melalui posisinya yang berbaring, mata Eleanor turun, bersemu bahkan ketika pria itu masih berpakaian lengkap. Pandangannya kemudian jatuh pada celana Ethan dan mendadak bibirnya mengering, terkesiap, bulu mata mengipas lebih perlahan. Itulah yang menyentuhnya malam lalu, terasa berat dan mendesak.

Ethan mengikuti arah pandang Eleanor dan ia bersumpah dirinya semakin menegang. Rona yang menggelap di pipi gadis itu tak membantu situasinya, meski Ethan juga tak ingin mundur dan menutupi kenyataan yang terjadi. Ethan memejamkan matanya kala merasakan ada yang menyentuhnya di sana, yang ternyata adalah punggung kaki Eleanor yang sengaja diangkat.

Ketika Ethan membuka matanya kembali, ia bisa melihat ketertarikan di wajah Eleanor, keingintahuan seorang remaja yang selalu membawa lebih banyak bencana daripada berkah. Ketika kaki gadis itu meluncur perlahan–seperti gerakan mengusap–pinggul Ethan otomatis maju untuk membalas, untuk merasakan tekanan yang lebih berat pada bagian tubuhnya yang sensitif. Tentu saja itu tidak cukup, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali.

Eleanor tidak tahu apakah Ethan menyukai apa yang dilakukannya, ekspresi pria itu tegang bagaikan baja ulir, rahang berkedut kala mengatupkannya lebih rapat, hembusan napas kasar. Sungguh, Eleanor ngeri Ethan akan mematahkan tulang rahangnya dalam waktu dekat. Bukannya Eleanor ingin juga komplain karena gerakan itu menarik baginya, hanya kodrat yang tahu mengapa.

Ketika Eleanor hendak menggerakan kakinya lagi, berharap bisa mendapat reaksi yang lebih bisa ia pahami, Ethan sudah menangkap pergelangan kaki itu, menahan dan memisahkannya. "Don't."

Napas Eleanor tertahan di dadanya. "Maaf," ucap pada akhirnya, setelah membuka dan menutup bibirnya berulang kali. "Sakit, ya?"

Ya, nyeri yang dirasakan Ethan sungguh tak tertahankan, tapi ia tahu Eleanor mengartikannya dalam konotasi yang sebenarnya. "Tidak. Aku lebih suka kamu tidak melakukannya."

"Maaf," ulangnya lagi. "Aku cuma..." Ethan menaikkan sebelah alisnya sambil mengangkat kaki gadis itu dan mengecup pergelangannya. "Aku nggak tolol, tahu," sergah Eleanor, suara tercekat.

"Aku tidak bilang apa-apa."

Eleanor tidak menghiraukannya. "Aku tahu kalau cowok itu punya..." Ia menelan salivanya dengan berat. "Desakan."

"Desakan? Kata yang menarik." Kecupan Ethan berpindah, naik untuk menekukan kulit baru.

"Jadi aku pikir... Aku pikir..."

Ethan mengasihani Eleanor dan mengambil alih kalimat. "Kamu pikir kamu bisa melegakan desakan yang aku punya? Membuatnya lebih baik? Membuatku meleleh sepertimu?"

Dark SymphonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang