7. Jantung Ax

852 159 58
                                    

Hari-hari telah berlalu sejak pertengkaran pertama dua mutiara Higashino dalam sejarah hidup mereka.

Adu mulut sudah terjadi. Emosi telah di luapkan.

Lalu masing-masing dari keduanya merasakan rasa bersalah yang sama besarnya.

Edgar mengerti letak 'kesalahannya' dalam berbagai arti.

Sayang, tidak dengan Flavio.

Yang Flavio tau, ia hanya salah telah membentak kakak dan papanya.

Ia tidak mengerti bahwa 'kesalahannya' yang sebenarnya ada di dalam bentakan itu.

Ia masih belum mengerti letak kekhawatiran yang Edgar rasakan. Ia masih belum sadar telah membuat harga diri Edgar sebagai kakak yang ingin melindungi adiknya menguap karena ucapannya.

Sebaliknya. Justru perasaan kecewa karena sang kakak masih belum bisa mempercayai ia dengan utuhlah yang lebih dominan.

Mama Fani mengerti apa yang putranya maksud. Pun dengan yang putrinya mau. Mama Fani paham dengan apa yang di rasakan kedua anaknya.

Saat di meja makan, kehangatan sudah berusaha Mama Fani ciptakan walau masih sarat akan kehambaran.

Komunikasi dua anaknya memang terlihat baik-baik saja dari luar. Edgar seperti biasa, menyapa adiknya lebih dulu.

Dan seperti biasa pula, Flavio menjawab seadanya. Penghuni kediaman Higashino tau jika Flavio bukan gadis pendiam. Flavio hanya gadis irit bicara yang akan mengomel panjang lebar saat waktunya tiba.

Mereka harusnya sudah biasa dengan diamnya Flavio. Karena itu bukan lagi hal baru bagi mereka. Mereka harusnya tau Flavio memang gadis yang lebih sering mendengar daripada berkomentar.

Namun kali ini diamnya Flavio berbeda. Sikapnya seperti... menutup. Menutup apapun yang ia rasakan dari orang-orang di sekitarnya.

Netra coklat terang Flavio sayu. Bibirnya sekarang lebih sering mengulum senyum saat di recoki oleh tiga serangkai yang sangat kompak ingin menghibur dirinya. Namun itu hanya senyuman ala kadar.

Sejenis... senyuman balas jasa. Sejenis senyuman... thanks udah berusaha hibur gue. Tapi gue gak butuh.

"Sumpah, Ay. Gue lebih rela di pelototin berjam-jam sama Ibu Flavio daripada harus ngeliat dia murung gini," Curhat Teo yang duduk bersama Fara, sedang memperhatikan meja Flavio dari kejauhan.

"Gue juga kangen di omelin Vio kalo lagi ceroboh, Te."

"Ibu Flavio gak mau sedikit pun cerita ke lo gitu?"

Fara mendongak menatap Teo, lalu menggeleng lesu.

Teo menghela napas panjang, mengelus puncak kepala Fara pelan. "Sabar, Calon pacar." Ucapnya mengerti kegundahan Fara.

Pandangan Teo lalu jatuh pada sahabatnya yang sedari tadi hanya diam memperhatikan Flavio makan. "Astaga! Tuh anak ngapain dari tadi cuma melongo gitu sih?" Teo menepuk jidat.

"Inisiatif apa kek. Ajakin ngobrol kek. Joget-joget pargoy kek." Ia geleng-geleng kepala. "Ck! Lama-lama gue tikung juga lo, Ax."

Ups!

Ucapan ngawur Teo membuahkan pelototan serta cubitan cukup keras dari gadis di sampingnya.

"Aww aww... ampun, Ay... ampun." Teo menjauhkan tubuhnya dari jangkauan Fara. Bahaya kalau Fara terus mencubit pinggangnya begini. Bisa-bisa ia tidak kuat untuk joget pargoy lagi nanti.

"Tenang. Gue gak suka cewek menantang kayak si Ibu Flavio, Ay. Cewek ceroboh-ceroboh manja kayak lo lebih gemes di mata gue."

"Iya gue ceroboh, ceroboooh banget sampe nih kopi bisa-bisa tumpah ke muka lo!"

Sweet IndependentWhere stories live. Discover now