Bab 36 Izin

195 13 0
                                    

Halow ... Halow ....

" بسم الله الرحمن الرحيم



Setelah selesai dengan makanan mereka, kini Fira membereskan semuanya. Sekeliling mereka juga sudah mulai sepi karena jam sudah hampir surup. Sedangkan Fizo, lelaki itu hanya menatap sendu pada gadis di depannya itu. Ia sedikit menundukkan pandangannya, tidak ... ia tidak sanggup mengatakan tujuannya membawa Fira jalan-jalan ke sini.

Fira mendongak tidak sengaja menatap wajah sendu suaminya itu langsung memgerut heran. Ia meletakkan semuanya pada keranjang lalu mendekat pada Fizo. "Abi kenapa? Ada masalah? Cerita sama Fira, ayo."

Fizo hanya menggeleng membuat Fira mengetak kesal. "Ayo cerita sama Fira! Dari mata Abi sudah tidak bisa berbohong lagi! Bukannya kata Abi, kita akan beribadah bersama-sama hingga menuju jannahNya, kan? Jadi ... semua suka duka harus dilewati bersama. Tidak adil kalau kita tertawa bersama, tapi Abi menangis sendirian."

Fizo terkekeh kecil mendengar penuturan Fira. "Aku laki-laki, Ra."

"Apa? Maksudnya, laki-laki tidak boleh menangis? Orang yang tidak mau menangis itu aneh, mereka tidak normal."

"Apa maksudmu?"

"Coba Abi lihat. Bayi baru lahir jika tidak menangis harus ditampar agar bisa menangis kencang. Lalu mengapa, saat bayi itu sudah tumbuh justru ia tidak boleh menangis? Manusia juga mempunyai hati, mereka punya empati. Menurut Fira, Fira kurang setuju dengan orang tua yang membentak anaknya saat menangis. Menyuruh anak itu untuk diam agar tidak berisik. Padahal anak-anak? Mereka mengekspresikan perasaannya, bukan? Dengan melarang seorang anak menangis, itu bisa berdampak buruk pada anak itu. Menjadikannya kurang komunikasi dengan orang tua. Cenderung memendam masalah sendiri. Tidak bisa mengekspresikan perasaan pada orang tuanya, atau bahkan untuk saling tegur sapa saja susahnya luar biasa. Banyak loh, contohnya Fira sendiri hihi," jelas Fira panjang lebar dengan diakhiri cengiran tidak jelasnya.

"Jadi ... sekarang ayo, Abi curhat sama Fira! Di sini sudah sepi, kok."

Fizo menatap Fira lekat. Tangannya bergerak mengenggam lembut tangan mungil istrinya itu. Kemudian tatapannya beralih pada tangan mereka yang saling mengait. "Kamu mau beribadah bersama sampai jannahNya, kan?" Tanpa berpikir Fira mengangguk.

"Aku mendapat amanah dari guru aku. Apa kamu mau membantunya? Ya Humairaku?" Pandangan Fizo beralih menatap Fira. Kini kedua mata mereka bertemu hingga terjadi keheningan beberapa detik.

"Guru Abi pasti menginginkan yang terbaik untuk Abi, kan? Fira mau, memangnya ... apa amanahnya?"

"Izinkan aku sah negara, Ra."

Hening.

Tidak ada respons apapun dari Fira beberapa detik ke depan. Hingga kedua sudut bibir gadis itu terangkat membuat jantung Fizo semakin berdebar. Apakah istrinya itu akan marah padanya? Tetapi ... mengapa ia tersenyum?

"Bi ... sebenarnya Fira sudah mulai menaruh hati. Entah sejak kapan, dan Fira ... mau."

"Mau?"

"SAH negara dengan Abi."

"Tapi, Ra?"

"Kenapa? Fira sudah siap, meskipun Fira masih kelas sebelas, Fira tidak mempermasalahkan itu. Justru karena sah negara dengan Abi, bukannya Fira akan lebih mudah menjauhi ajnabi, Bi?" tanya Fira benar-benar yakin dengan pernyataannya.

"Bukan. Kiai memberi amanah kepadaku. Aku izin padamu sah negara, bukan denganmu. Tapi-" Tenggorokan Fizo terasa tercekat. Ia seperti tidak sanggup untuk mengatakan semuanya pada wajah lugu gadis di depannya ini.

"Bersama perempuan lain."

●●●●

Semenjak pengakuan tadi, kini keduanya tidak saling bicara selama perjalanan pulang. Fizo sesekali melirik Fira yang hanya duduk diam dengan pandangan lurus ke depan. Ia menghela napas kasar, menyesal sekali ia mengatakan izinnya tadi. Tetapi jika tidak, itu sama saja ia melanggar amanah dari Kiai dan wasiat dari Abbanya.

"Mau beli avocado, Ra?" tawar Fizo mencoba mencairkan suasana di antara mereka. Ia melihat penjual buah avocado di jalan dan memutuskan untuk menepi sebentar. Jarang sekali ia menemukan penjual avocado di sekitaran sini.

"Tidak."

"Ra ... kamu marah denganku?" Hening. Tidak ada sahutan sama sekali dari sang empu.

"Ra ... jangan seperti ini, aku mohon ...." Fira sedikit tersentak saat mendengar isak tangis dari sebelahnya. Ia menoleh, betapa terkejutnya saat mendapati seorang Fizo Qori sedang menangis. Untuk kedua kalinya, lelaki itu selalu menangis saat Fira bersikap cuek padanya.

"Ra ... jangan diamkan aku ... tega sekali kamu ini ...." renggeknya bak anak kecil membuat Fira tidak bisa menahan senyumannya.

Fizo melepas sabuk pengamannya. Ia sedikit menggeser tubuhnya agar dekat pada Fira. Tanpa seizin gadis itu, Fizo langsung mendaratkan kepalanya pada bahu Fira. "Sayang ... mau aku coba tolak amanah, Kiai?"

Seketika Fira membulatkan matanya. "Jangan! Untuk apa? Sudahlah turuti saja amanah guru dan almahrum Abbanya, Abi. Fira tidak apa-apa. Walaupun sedikit, sakit. Hanya sedikit."

"Sorot mata kamu tidak bisa bohong, Ra. Tapi maaf, ini semua amanah, aku benar-benar ...." Kedua mata mereka saling menatap. Tidak bisa dipungkiri lagi, dari lubuk hati mereka yang paling dalam, terdapat rasa sesak yang menggelora. Melihat Fira mulai meneteskan air mata, Fizo dengan lembut mengusapnya. "Pipi cantik ini, tidak boleh sampai meneteskan air mata hanya karena seorang Fizo Qori. Aku janji, akan lebih prioritaskan kamu!" ujarnya dengan begitu meyakinkan. Fira hanya tersenyum, ia hanya bisa berharap bahwa semua itu adalah benar.

"Fira pegang kuat-kuat ucapan Abi."

●●●●

Perjalanan selama delapan jam lebih kini sudah terlewati oleh mereka. Dengan badan yang masih pegal-pegal, Fira mencoba membantu Fizo untuk memasukkan semua barang yang sudah mereka bawa. Tidak banyak, tetapi ia sudah benar-benar lelah dengan perjalanan yang sekian lamanya.

Setelah semuanya selesai. Fira mengambil ponselnya lalu beranjak keluar kamar. Fizo mengerutkan keningnya saat mendapati istrinya itu melenggos begitu saja tanpa melihat keberadaannya.

"Ra? Mau ke mana?"

"Fira ingin tidur di kamar tamu. Boleh, kan?"

Kening Fizo mengerut tidak suka. Apa maksudnya?! "Mengapa? Bukannya tadi-" ucapan Fizo terpotong oleh Fira.

"Aku memang menyetujui, Bi. Tapi tolong ... Fira membutuhkan waktu untuk sendiri dahulu. Boleh, kan?"

Setelah terjadi keheningan beberapa menit, lelaki itu menunduk dan hanya menjawab dengan anggukan kecil. Fira hanya tersenyum tipis, ia mulai berbalik sebelum Fizo kembali memanggilnya.

"Ra?"

"Iya?" jawabnya tanpa menoleh pada sang empu.

"Jangan lama-lama, ya. Aku rindu."

Fira menghela napas berat lalu tersenyum kecil. "In syaa allah." Ia segera beranjak pergi dari kamar itu. Fizo, lelaki itu terus menatap punggung Fira yang semakin menjauh. Sebenarnya ... ada apa dengan hidupnya ini? Ya Rabbi ....

Ya Salam ... Engkau Yang Maha Mensejahterakan, hamba mohon, kembalikan istri hamba yang dahulu. Yang tiga C. Ceria, cengeng, dan cerewet. Sedikit mengesalkan, tetapi ... entah sejak kapan hati ini mulai terikat padanya, Rabbi ....

Fizo menghembuskan napas pasrah. Ia menggulung lengan bajunya hingga mencapai siku. Lalu beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ia sudah salat isya di masjid tadi, tetapi kini ... ia ingin melaksanakan salat Istiqarah untuk meminta petunjuk pada Allah. Apakah keputusannya itu ... benar?



Cado ... tidak pandai membuat konflik🙃🙏

Perjodohan Tidak Seindah Bayangan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang