Bab 57 Akankah Semua Berakhir?

277 15 5
                                    

Halow ... Halow ....



Setelah pertengkaran dengan istrinya kemarin, kini Fizo memutuskan untuk pulang mengunjungi Kiai. Tidak ada jalan lain lagi untuknya pulang, hanya Kiai yang bisa ia andalkan. Setelah beberapa jam di perjalanan dan akhirnya tiba di depan pintu gerbang asrama. Fizo menghela napas berat lalu perlahan melangkahkan kakinya menuju masuk.

Dengan terbalut rasa ragu Fizo mengetuk pintu ndalem. Hingga pintu itu terbuka dan keduanya saling terdiam mematung. "Idar? Akhirnya."

Fizo hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Masih jadi abdi?"

Lelaki itu terkekeh pelan mendengarnya. "Alhamdulillah."

"Ayo masuk dulu, Dar." Fizo mengangguk, ia mengucap salam lalu memasuki ndalem.

"Kiai lagi ada acara di Pesantren Lirboyo, gak papa nunggu dulu?"

"Ah iya gak papa, Did."

Hadid ikut mendudukkan tubuhnya pada kursi samping Fizo. Ia mengerut saat melihat ekspresi Fizo yang kurang mengenakkan. Sepertinya lelaki itu sedang tidak baik.

"Dulu kita pernah ketemu di masjid kan? Kenapa kabur?"

Fizo hanya menanggapinya dengan cengiran tidak jelas lalu menggeleng pelan. Melihat hal itu, Hadid hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kembali berdiri, "bentar, aku bikin teh dulu."

"Gak perlu, Did. Aku cuma mau ketemu Kiai aja sebentar."

"Ya sekarang Kiai belum ada, nunggu sambil ngeteh aja."

"Yasudah, terima kasih," ujar Fizo dengan senyum tipis.

Melihat punggung Hadid yang kian menjauh, Fizo memijat keningnya yang terasa pusing. Ia memejamkan matanya seraya menghela napas berat.

"Assalamualaikum."

Lelaki itu terperanjat kaget, refleks ia langsung menoleh ke arah sumber suara. "Waalaikumussalam."

"Haidar?" Fizo berdiri dan tersenyum tipis pada gurunya. Ia beranjak menuju beliau lalu mencium tangannya.

"Ngeh Yai."

"Ma syaa allah, sudah lama nunggu?"

"Mboten Yai, nembe mawon," jawabnya dengan senyuman tipis.

"Apa kabar? Bagaimana rumah tanggamu sekarang dengan Vio?"

Hening. Tidak ada jawaban dari sang empu. Bahkan raut wajahnya berubah menjadi murung. Tanpa aba-aba Fizo langsung memeluk tubuh Kiai yang membuat beliau refleks kebingungan. Apalagi ditambah Fizo langsung menangis saat memeluknya.

"Ya allah, ada apa Dar?" Kiai mengusap lembut punggung anak didiknya itu. Hadid yang baru saja sampai dengan nampannya pun dibuat bingung dengan pemandangan di depannya. Ia menatap Kiai dengan tatapan penuh pertanyaan, namun beliau hanya mengisyaratkan lewat kontak mata agar meletakkan itu di meja dan segera pergi.

Setelah melakukan perintah Kiai, Hadid segera beranjak pergi keluar ndalem. Kiai mulai menuntun Fizo untuk duduk, masih dengan memeluk Kiai tangis Fizo tak kian mereda.

Kiai membelai lembut rambut Fizo, "apa yang terjadi? Apa rumah tanggamu dengan Vio mengalami cobaan?"

"Idar capek, Yai."

"Ada apa? Ceritakan pada saya, jangan Idar pendam sendirian."

"Idar pusing. Banyak sekali ujian dalam rumah tangga Idar setelah melakukan poligami ini. Idar sempat berpikir untuk menceraikan Vio, Yai," jelasnya dengan sesegukkan.

Kiai menatap iba pada Fizo. Dari lubuk hatinya tentu saja ia tidak tega melihat anak didiknya sehancur ini. Kini tangannya terus setia membelai lembut rambut Fizo untuk memberi kesan tenang padanya. "Saya sebenarnya sudah menduga sejak awal, Dar. Tetapi di sisi lain saya juga harus menjalankan amanah dari Abba kamu. Ya seperti inilah, konsekuensi yang harus kamu terima saat berani mengambil tindakan poligami. Risiko yang begitu berat, gak hanya di dunia tetapi juga berlaku di akhirat nanti."

"Kalau kamu benar-benar sudah tidak bisa, lebih baik kamu melepaskan salah satunya, daripada di akhirat nanti kamu menanggung beban yang sangat berat karena tidak adil pada keduanya."

"Tapi Idar bingung, Yai. Idar tidak bisa melepaskan Fira karena dia cinta pertama Idar. Dan Idar juga tidak bisa melepaskan Vio karena bagaimanapun dia termasuk dalam surat wasiat Abba."

"Idar, surat wasiat memang penting untuk kita jalankan. Tetapi jika Abba melihat kondisimu seperti ini karena surat itu, apakah ia tega? Coba Idar istiqoroh dulu?"

Fizo mulai melepaskan pelukannya dari Kiai. Ia mengusap gusar air matanya, "Idar kurang percaya dengan istiqoroh, Yai. Dulu untuk mengambil keputusan poligami ini juga dengan istiqoroh, yang katanya baik ternyata sekarang seberantakan ini."

Kiai mengerutkan keningnya mendengar penuturan Fizo. "Bagaimana istiqorohmu saya boleh tau?"

"Idar istiqoroh seperti yang Yai ajarkan dulu, Idar salat istiqoroh lalu Idar buka Al-Quran dan menghitung berapa banyaknya huruf kho dan syin pada lembar itu. Dan banyak syin, Yai, jadi Idar ambil keputusan poligami."

"Astagfirullahalazim Idar ... kamu tau kesalahan besar yang udah kamu perbuat?"

Lelaki itu menunduk lesu. "Ngeh Yai, terlalu percaya."

"Bukan. Dengan huruf kho itu khair yang berarti baik. Sedangkan syin itu syar berarti buruk. Dan kamu menemukan banyak syar lalu salah menanggapinya."

Fizo terdiam mendengarnya. Sungguh ia tidak bisa berkata-kata lagi. Jadi sebenarnya?

"Jadi ... Idar salah, Yai?"

"Kenapa gak bilang saya dulu?"

"Maaf Yai, Idar udah gak bisa mikir lagi."

Kiai mengenggam kedua pundak Fizo yang sedang kebingungan. "Kalau kamu sudah punya satu berlian berharga, jangan cari berlian lain. Nanti kamu kewalahan menjaganya dan bisa dicuri orang lain. Jangan maruk, lepaskan salah satu atau sakiti keduanya."



Fizo menarik napasnya dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya kembali memasuki rumah. Baru saja ia membuka pintu rumahnya, semua sudah terlihat sangat berbeda dari biasanya. Kini hening, benar-benar hening. Tidak ada yang menyambutnya seperti biasa lagi. Ia akui Vio sangat baik untuk menjadi seorang istri, tetapi ... ia tidak mencintainya.

Fizo menghembuskan napasnya berat. Ia segera beranjak menuju kamar Fira. Perlahan ia membuka pintu dan ternyata Fira masih saja terdiam di tepi ranjangnya. Lelaki itu menghampiri lalu tanpa aba-aba menyerahkan surat wasiat Abbanya pada Fira.

"Maaf selama ini gak pernah ngertiin perasaan kamu. Sekarang aku benar-benar gagal bina rumah tangga ini, Ra. Tolong kasih aku satu kesempatan lagi untuk perbaiki semuanya." Fizo mengenggam lembut telapak tangan Fira. Ia menatap gadisnya itu dengan tatapan sangat mendalam.

"Kita sembuhkan sama-sama tentang hati kamu. Dan satu, kamu mau jadi satu-satunya aku? Aku ceraikan Vio ya?"

Tanpa disadari di balik ambang pintu kamar itu terdapat wanita yang hatinya kini terasa seperti tersayat pisau. Ia terjatuh dan menangis pilu mendengar semuanya. Terutama kalimat terakhir yang keluar dari lisan suaminya itu.

"Jangan, aku akan coba berdamai dengan Vio. Kalaupun tidak bisa, Vio jauh lebih baik dariku, lebih baik Abi dengan Vio saja." Mendengar hal itu tentu saja Fizo menggeleng kuat menolak ucapan Fira.

"Aku cintanya sama kamu, Ra," ucapnya semakin mengeratkan genggaman tangannya.

"Abi dan Vio udah sah negara, sedangkan dengan Fira belum. Jadi lebih baik Fira saja yang Abi ceraikan, bukan begitu?"

"Oke, kenaikan kelas dua belas beberapa minggu lagi pas dengan hari ulang tahun kamu, kamu harusnya sudah cukup umur kan? Kita sah negara saat itu juga."



Takut ....

Perjodohan Tidak Seindah Bayangan [END]Where stories live. Discover now