XXXIX. Free Time

18 3 0
                                    

💙💜💙💜

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

💙💜💙💜

Waktu berjalan cepat dan dilalui tanpa banyak drama. Mei dan lima laki-laki pencinta game itu juga melalui hari-hari dengan produktif sehingga tidak ada yang terbuang atau tertinggal. Antara kompetisi tahunan dan mengejar materi jelang ujian, tidak ada yang terlewat. Bahkan Gastya pun tidak mengeluh soal ini sama sekali. Dia bersyukur karena mendapat tutor seperti teman-temannya yang cerdas.

Besok adalah hari dimana Mei akan melangsungkan kompetisi daya ingat terakhirnya di SMA. Hari ini sepulang sekolah, Mei memilih melipir ke suatu tempat dimana menjadi awal dia menjadi atlet daya ingat.

Meski hari sudah senja, tak mengurungkan niat Mei untuk pergi kesana seorang diri. Berbekal segenggam tangkai bunga dan air, kakinya melangkah di jalan setapak yang memisahkan antara gundukan tanah yang satu dengan yang lain.

Kakinya berbelok di suatu gundukan tanah dengan nisan keramik berwarna hitam.

"Ayah..." Berbeda dengan terakhir kali ke sini, suasana hatinya kini jauh lebih tegar.

"Ayah, besok aku lomba daya ingat yang terakhir. Doain aku, ya, semoga kali ini aku menang... Lagi," ucapnya terbata.

Sang ayah adalah motivasi terbesarnya untuk menjadi seorang atlet daya ingat. Ayahnya lah yang pertama kali menemukan bakatnya dan menyarankan gadis ini untuk ikut dalam club daya ingat hingga akhirnya gadis ini menyandang gelar Grandmaster of memory.

Mei tahu bahwa bakatnya ini diturunkan oleh sang ayah sebab meskipun ayahnya bukan atlet seperti dirinya, sang ayah nyatanya sangat cerdas. Dia adalah seorang dosen muda ketika masih hidup dulu, bahkan menjadi doktor termuda di kampusnya.

Tentu saja dia tidak ingin mengecewakan sang ayah yang selalu mendukung penuh apapun yang dia lakukan.

"Ayah, aku sekalian curhat sedikit, ya?" Mei mencabut rumput-rumput liar di sekitar makam sang ayah setelah meletakkan bunga yang ia bawa di atas nisan.

"Satu tahun setelah ayah pergi adalah masa-masa terberat buat aku. Aku selalu termotivasi liat pencapaian ayah tiap kali aku punya keinginan buat nyerah. Meskipun ada keajaiban di dunia ini, tapi ayah selalu bilang tanpa usaha kita gak akan jadi apa-apa."

"Ayah, aku ketemu satu cowok yang berhasil bikin aku lupa sama masa-masa buruk itu. Dia sama hancurnya kaya aku, tapi ternyata kita bisa saling bantu buat sembuh sama-sama. Sikapnya memperlakukan aku, caranya bercanda, pinternya dia ngingetin aku sama ayah. Aku tahu ayah bakal selalu ada di sekitarku, kan? Jagain aku dari sana, ya, ayah."

Di tengah curhatannya pada sang ayah, suara tergopoh-gopoh datang dari belakang. Mei menghela napasnya sebal dan memicingkan mata untuk melihat ke belakang. "Dibilang jangan ke sini," omelnya.

"Ya maaf... Lagian kenapa sih lo berani banget sendirian di sini? Gue yang takut nunggu di luar."

Mei memasang wajah masamnya pada Ge. "Sejak kapan lo jadi penakut gini?"

G in Luv (END)Where stories live. Discover now