XLVII. Objection

21 4 0
                                    

💙💜💙💜

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

💙💜💙💜

Di sini lah mereka, di kontrakan kecil Ge, membereskan pakaian-pakaian mereka dan memasukkannya kembali ke dalam koper dan tas besar. Sembari melipat baju, otak Mei terus berpikir dan mempertanyakan keputusannya, apakah langkah kembali bersama sang mama dan pergi ke rumah itu sudah benar? Dia sudah lebih mengerti mengenai keadaan keluarganya yang cukup rumit. Seandainya dia merasa rumah itu tidak cukup menjadi sebuah 'rumah' baginya, dia bisa meminta kembali ke rumah lamanya bukan? Lagipula sang mama pun mengatakan demikian, jadi dia berharap semoga keputusan yang ia ambil sudah tepat.

"Ailimei?"

"Hah?" Tanpa sadar Mei terkesiap karena panggilan itu. Dia begitu melamun dari tadi.

"Mikirin apa? Gue panggil sepuluh kali gak nyaut."

Mei seketika mengerutkan dahinya. "Lebay banget. Sepuluh kali banget nih?" Tanyanya sebal.

"Gak percaya banget nih? Siapa suruh segitu bengongnya?"

"Siapa suruh bercanda mulu?"

Ge terkekeh kecil. "Sejak kapan gue suka bercanda?" Aneh mendengar jawaban itu baginya karena Ge tahu dirinya jarang bercanda.

"Ngapain sih? Kalo mau bantu, sini! Gak usah bikin emosi."

Laki-laki itu melangkah mendekati ranjang Mei sembari kembali terkekeh. "Nona... Nona... Baru kali ini gue liat lo kalah debat sama gue."

"Pede! Siapa juga yang berniat debat sama lo?" Mei menutup tas berisi baju-bajunya dan beranjak menuju meja belajar untuk membereskan buku-bukunya.

"Iya deh... Cewe mah selalu benar."

Seketika Mei melempar tatapan sadisnya kepada Ge. Mei tidak pernah menganggap dirinya selalu benar tapi kali ini Ge saja yang menguji emosinya.

"Terserah lo deh, si paling merasa selalu salah."

Ge tercekat diskak seperti itu. Memang itu cara cepat melawan argumen guilt trip.

"Cerita deh kalo ada masalah, jangan diskak gitu guenya." Mei mencoba berdamai.

"Jam berapa sih ini?" Ge mencoba mengubah topik. "Kita masak aja deh, ngehabisin bahan di kulkas."

"Baru jam dua siang."

"Idih, baru? Pantesan perut gue bunyi mulu."

Dua remaha itu segera pergi menuju dapur dan mengambil semua bahan yang tersisa di kulkas. Tak banyak, hanya sawi putih, daging ayam bagian paha, jamur kancing, dan tahu sutra, serta bahan-bahan pelengkap lain. Sembari mencuci semua bahan itu, Mei berpikir apa yang harus dia masak.

"Gue bantu, ya?" Tawar Ge.

Mei mengangguk. "Kayanya masakan lo lebih enak dari gue. Biar cepet juga."

G in Luv (END)Where stories live. Discover now