enemies to lovers trope

1.6K 104 0
                                    

Sekarang sudah pukul dua puluh tiga, tapi aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Padahal saat ini perutku kenyang, aku sudah meminum dua gelas susu, dan mendengarkan ASMR di Youtube. Akhirnya aku keluar dari kamar dengan mengendap-endap agar tidak membangunkan Mama, mengambil sepatu olahragaku di rak dengan gerakan cepat, lalu keluar rumah dengan langkah kilat. 

Aku langsung mengembuskan napas lega begitu sudah keluar dari rumah. Sebelum lari aku memutuskan untuk pemanasan sebentar, lalu setelah itu aku lari sekuat tenaga seperti orang kesetanan. Sekarang hampir tengah malam, jadi sudah jelas suasana saat ini begitu sepi. Namun anehnya aku tidak takut sama sekali, karena saat ini kepalaku begitu kusut dan aku sangat merindukan Satya. 

Aku sangat merindukan pria itu sampai sakit kepala. Dan aku tidak tahu apa pria itu sempat menghubungiku atau tidak, karena aku sudah memblokir nomornya, dan masih mengabaikan pesan serta telepon sahabatku karena aku belum mau bicara dengan mereka. Aku hanya memegang ponsel ketika sedang bekerja dan berkomunikasi dengan Alea. Aku juga me-log out semua sosmedku, saat ini aku betulan hanya ingin menghilang. Menata hatiku yang super berantakan dan memberi diriku sendiri waktu untuk me time serta memikirkan segalanya, walau saat ini aku benar-benar sama sekali tidak bisa berpikir.

Tuhan, kenapa rasanya sakit sekali?

Lalu, akhirnya aku berhenti lari karena saat ini Sergio sudah ada di depanku. Dan aku langsung ambruk ke tanah karena kakiku sangat sakit dan gemetaran, sial ternyata tanpa terasa aku sudah berlari dari Blok A sampai Blok E tanpa jeda, pantas saja saat ini aku merasa kehilangan tenaga. 

“Gue pikir orang gila mana yang lari-lari tengah malam. Ternyata lo. Dan Kanthi, you look like shit.”

Sergio tiba-tiba berjongkok di depanku, dan tindakan pria itu sontak membuatku mengerutkan kening karena bingung. “Apa?” tanyaku masih dengan napas ngos-ngosan. 

“Naik! Sumpah saat ini lo beneran kayak gembel karena duduk di tengah jalan tengah malem pula.”

Sungguh, aku sama sekali tidak punya tenaga untuk membalas perkataan atau memaki Sergio karena mengataiku gembel. Oleh karena itu, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya aku pun segera naik ke punggung Sergio, dan pria itu langsung membawaku ke rumahnya lalu menurunkanku di sofa. 

Setelah itu Sergio berjalan ke kulkas, dan memberikan sebotol air mineral dingin yang sudah dibuka tutupnya kepadaku. Dan tanpa banyak komentar aku langsung meneguk air kemasan itu hingga setengah, membuat tenggorokan dan kepalaku kembali jernih.

“Mau main tennis? Tadi niatnya gue mau main tennis dulu sebelum tidur, tapi pas ambil raket di lantai atas gue malah liat lo lari kayak orang kesetanan.”

“Oke.”

Lalu aku mengekor Sergio dan berjalan ke belakang rumah pria itu. Halaman rumah Sergio sangatlah luas, di sisi kiri ada taman buatan dan kolam ikan, sedangkan di sisi kanan ada lapangan tenis yang juga bisa berubah jadi lapangan basket karena aku melihat dua ring basket di sisi kanan dan kiri. 

Sergio memang sudah menyukai tenis sejak SMA, jadi tidak heran jika pria itu punya lapangan tenis pribadi di rumahnya. Jujur, sebenarnya aku tidak begitu menyukai tenis, tapi karena Alea pernah mendapat peran sebagai pemain tenis hingga harus les private seminggu dua kali—dan dengan kampretnya bayi besarku itu juga memaksaku untuk ikut les, akhirnya aku jadi suka main tenis. 

Kadang kalau aku dan Alea lagi gabut, kami juga suka main bersama di Senayan atau Bona Indah. Sergio membiarkan aku yang melakukan service, lalu kami main tenis hingga sama-sama lelah luar biasa. Sampai kami lupa menghitung skor, dan lupa waktu. Bukan karena pertandingan kami begitu seru, tapi kami bermain sama-sama untuk melampiaskan emosi. Hingga akhirnya tubuh kami sampai pada limit-nya, dan permainan kami pun berhenti. 

Aku tiduran di atas lantai lapangan tenis yang dingin. Sergio berjalan ke arahku lalu ia ikut tiduran di sampingku. Langit Jakarta yang penuh polusi membuat bintang-bintang lenyap, untungnya sang bulan masih bersinar dengan terangnya. 

“Better?” tanya pria itu seraya mengalihkan kepalanya ke arahku.

Aku juga mengalihkan kepalaku ke arah pria itu. “Thanks, karena udah ngajakin gue main tenis tadi.”

“Saudara gue yang bajingan itu udah ceritain semuanya ke gue. Kalian putus, dan yups gue seneng. Karena lo jelas pantes dapetin yang lebih baik, dan yang lebih baik udah jelas bukan gue atau saudara gue yang bajingannya sama kayak gue itu,” kekehnya.

“Dan kalo lo kepo keadaan dia sekarang gimana, dia lebih buruk dari lo. Dan gue sama sekali nggak senang karena hal itu.”

“Setahu gue kalian berdua nggak deket. Kenapa sekarang lo sepeduli itu sama dia?”

“Karena gue utang satu nyawa sama dia sekali. Dan hal itu bikin gue sadar kenapa di cerita ini dia yang jadi tokoh utamanya. He loves you, kalo Romeo atau Gatsby betulan ada, maka gue yakin Satya—si tolol itu adalah reinkarnasi dari keduanya, karena kalo dia bisa semudah itu membahayakan nyawanya buat gue, maka dia nggak bakal berpikir dua kali buat ngelakuin hal yang sama buat lo.”

Sergio lalu duduk dan berhenti menatap mataku, saat ini pria itu menatap lurus ke depan. “Dan gue pikir, sekaranglah saatnya gue—si second lead ini—balas budi. Walau kadang gue mikir, bakal seperti apa kalo guelah yang jadi tokoh utamanya. Mungkin cerita kita bakal jadi enemy to lovers trope, gue mungkin bakal jadi si menyebalkan Anthony Bridgerton, dan lo bakal jadi Kate Sharma. Lalu kita bakal saling benci sebelum saling cinta setengah mati.”

Lalu pria itu kembali menatap mataku, dengan tatapannya yang itu. “Dan mungkin pada malam penuh bintang, kayak Anthony, gue juga bakal bilang; ‘You are the bane of my existence and the object of all my desire.’ Dan selama sepuluh tahun terakhir, itu yang beneran gue rasain, Kanthi.”

“Hah?”

“Nope, lupain aja. By the way, sekarang udah jam 2 pagi. Jadi, lebih baik lo nginep aja.”

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now