i am a hot mess but at least i am hot

51.9K 3.5K 36
                                    

10 tahun lalu,

Aku melipat baju pramuka yang baru saja aku ganti dengan baju olahraga dan memasukkan ke dalam loker. Sebelum keluar kelas aku meneguk air secukupnya karena tidak mau kehausan saat Jumat Sehat nanti. 

Setiap hari Jumat SMA Pemuda memang mengadakan acara Jumat Sehat—yang merupakan acara jalan santai bersama seluruh angkatan dari kelas 10 sampai 12. 

Bel masuk akhirnya dibunyikan, aku dan Arum pun segera meninggalkan kelas untuk berkumpul dengan murid lainnya di halaman sekolah yang luas. Karena kelas Jessica ada di lantai dua, aku dan Arum pun memutuskan untuk menghampiri Jessica dulu di kelasnya. Sehingga kami bisa jalan santai bersama nanti.

Aku, Arum, dan Jessica sudah mengenal sejak MOS. Aku dan Arum berkenalan saat hari pertama karena kami satu kelompok, sedangkan dengan Jessica kami berdua baru berkenalan di hari terakhir MOS karena kami terjebak hujan saat hendak pulang sekolah. Lalu sejak saat itu kami menjadi dekat dan bersahabat hingga kelas 12, walau kami tidak selalu sekelas, tapi kami tetap dekat. Kadang kami juga suka mengerjakan tugas bersama, walau Jessica anak IPA tugas dan materi kami memang sama. Hanya saja antar satu kelas dan kelas yang lain waktu pembagian tugasnya saja yang berbeda. 

Aku memutar bola mata malas saat lagi-lagi Arum menanyakan hal yang sama. “Okay, Kanthi ... lo nggak bales SMS gue. nggak bales chat Facebook gue, dan nggak angkat telepon gue. Satya? How? Sejak kapan kalian deket? Kemarin kalian ke mana? Kalian jadian diem-diem?” berondong gadis itu dengan mimik penasaran yang sangat kentara. 

Sejak kemarin Arum membombardirku dengan pertanyaan yang sama. Dan mengingat betapa kepoannya gadis itu, aku yakin ia nggak bakalan menyerah sebelum ia mendapat jawaban yang ia mau. Dan sialnya lagi, Arumi Wijaya bukanlah tipe yang gampang menyerah, jadi sebelum ia mendapat jawaban pasti ia bakal terus merongrongku. 

“Pokoknya ceritanya panj—“

“Gue yakin umur gue sampai 100 tahun, so, gue punya 83 tahun buat dengerin cerita panjang itu!”

“Pretlah, lo bakal nunggu selama itu! Pasti lo bakal neror gue mulu sebelum tahu ceritanya hari ini. Makan tuh 83 tahun sialan lo itu! But, gue janji bakal ceritain semuanya, makanya pulang sekolah hang out, yuk? Dionsnet? Sekalian download lagu?”

“Boleh, tuh! Sekalian karaokean, ya? Gue butuh teriak-teriak!” sahut Jessica.

“Lo yakin okay, beb? Kalo masih nyesek, udah nunggu di UKS aja sana. Nggak usah ikut Jumat Sehat, daripada nanti ketemu mantan. Makin kretek-kretek entar hati lo.”

Jessica memang baru saja putus semalam, makanya gadis itu hari ini datang ke sekolah dengan mata sembab dan bibir cemberut, serta mood jelek parah. Di antara kami bertiga, Jessica memang yang paling player. Kalau masa abu-abuku betulan tidak menarik dari segi mana pun termasuk percintaan, dan Arum lebih suka pacaran dengan buku aljabar, maka Jessica mengisi masa putih abu-abunya dengan kisah pasaran cerita fiksi remaja yang bikin baper itu.

Jessica memang punya potensi menjadi si populer—cantik, pintar, jago olahraga, jago bahasa Inggris, dan pintar bicara Hokkian—sehingga sejak kelas 10 ia sudah jadi magnet cowok-cowok mulai dari kakak kelas sampai adik kelas. Oleh karena itu, di antara kami bertiga ia juga yang paling sering pacaran dan juga paling sering putus.

Dan semalam gadis itu baru saja putus dengan Wiyoko—si kapten taekwondo yang sudah menjadi pacarnya setengah tahun terakhir.

“Udah oke sih gue. Lo tahu kan gue pacaran cuma buat have fun. Jadi, kalo udah nggak ‘fun’ lagi yang mending putus. Buat apa juga bertahan ya, kan? Tapi emang bangsat—mau buat have fun, mau buat ngisi waktu luang, putus tetep aja menyakitkan coy! Makanya entar temenin gue karaoke, ya? Hari ini gue beneran butuh distraksi.”

“Siap, sayangku! Lo tenang aja, weekend ini waktu gue buat lo semua!”

Jessica menghapus air matanya yang baru saja turun ke pipi. “Lagian gue juga udah mulai ilfeel sama si Wiyoko setan! Dulu aja muji-muji gue ke temennya, sekarang malah bilang gue problematic-lah, banyak dramalah, bad attitude-lah, si hot mess! Bah! Mulut cowok emang nggak bisa dipercaya. Manisnya di awal doang. Terus kenapa kalo gue hot mess? At least i am hot!” serunya seraya menangis sesenggukkan. 

Aku pun langsung memeluk sahabatku itu. “It’s okay baby it’s okay. Today lo puas-puasin aja nangis sampai lega. Nanti pulang sekolah kita cari distraksi sampai puas, okay?”

Sip, thank you, ya. Kalian emang yang terbaik! Muach! Pokoknya gue harus cari cowok baru, biar bisa cepet-cepet lupain mantan.”

“Ck, lo nggak capek apa, Je? Nge-repeat proses yang sama berkali-kali? Pacaran-putus-pacaran-putus, bahagianya nggak seberapa, setiap putus sakitnya nggak terkira. Maybe ini saatnya lo berhenti, coba nikmatin single life lo.”

“Ck, terus abis itu apa? Gue jadi si maniak yang bakal pacaran sama buku tiap hari kayak lo? Dih, nggak sudi! Buku kalo dipeluk nggak enak coy! Lagian kita masih muda, have fun-lah. Masa muda kan nggak dateng dua kali. Jangan sampai menyesal aja. Kalo kata si Mami sih yang penting inget batasan, lagian pacaran putus itu wajar. Gue juga nggak berekspektasi apa-apa, kok. Kek, bakalan pacaran sampai nikah atau apa.” Lalu gadis itu mengernyit ngeri. “Sumpah gue belum mikirin kehidupan nikah sama sekali. Terbayang beban sekali, coy! Pokoknya gue nggak bakalan nikah, gue bakal jadi si kaya raya yang tiap tahun jalan-jalan ke Eropa di temani kucing gue yang setia. Meow!” lanjut gadis itu seraya memembentuk jari-jarinya seperti cakar kucing dan mengeong menggoda.

“Iyuh, jijik gue!” ujarku dan Arum bersamaan seraya menirukan orang mau muntah. 

Ya, terserah saja apa kata Jessica. Karena nyatanya manusia hanya bisa berencana, masa depan punya kejutannya sendiri, dan takdir suka sekali bercanda. 

Untungnya pagi ini langit sedikit mendung, sehingga halaman sekolah tidak sepanas biasanya. Aku berbaris di baris ketiga sejajar dengan Arum dan Jessica yang ada di baris keempat dan kelima. Seraya istirahat di tempat kami berdiri di lapangan sambil mendengarkan guru olahraga yang tengah memberikan beberapa amanat seperti tidak boleh ada yang jajan di luar selama jalan santai, tidak boleh gaduh di jalan karena berbahaya, atau malah kabur dan akhirnya bolos sekolah. 

Hi,” sapa sebuah suara dari sisi kananku.

Membuatku yang tadinya fokus melihat ke depan segera menelengkan kepala ke kanan dengan kening berkerut dalam.

Hah? Sejak kapan Sergio berdiri di sampingku? Apa cowok itu saat ini menyapaku? Tapi untuk apa? Kenapa ia aneh sejak kemarin?

Lalu Sergio menyentil keningku sehingga aku mengaduh pelan. “Awww!” protesku sambil melotot.

“Ya, ceweknya Satya, gue lagi nyapa lo. Dan karena lo punya mulut, harusnya lo nyapa balik, kan?” ujar cowok itu yang sontak membuat aku ingin menenggelamkan diri sendiri di laut Selatan Jawa karena saat ini banyak mata yang menatap ke arah kami dengan tatapan penasaran.

Holyshittttttt cowok satu ini maunya apa, sih?

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now