i remember when i first noticed that you liked me back

48.2K 3.9K 48
                                    

Satya kemarin mengirimi dua foto tiket konser Cigarettes After Sex yang diadakan di Jakarta International Expo hari ini, sehingga aku pun jadi nonton konser CAS tanpa harus nonton konser di Singapura 3 bulan lagi. Aku tahu, aku bisa saja menolak ajakan Satya hari ini, dan tetap pergi ke Singapura seperti rencana—sekalian liburan akhir tahun. Tetapi sungguh, aku ingin datang. 

Ada hal yang tidak benar yang perlu aku luruskan, ada puzzle yang perlu aku satukan agar semua hal yang terjadi sepuluh tahun terakhir menjadi semakin jelas. Karena aku tahu ada yang hilang dari hidupku dan kehilangan itu meninggalkan lubang besar di dadaku. 

Membuat aku mati rasa. Dan sungguh, aku sudah lelah pura-pura baik-baik saja. Because no, i am not.

Satya sudah datang sejak tiga puluh menit lalu, pria itu kini sedang mengobrol dengan Mama dan membahas beberapa resep makanan serta kue terbaru. Mama jago masak dan juga jago membuat kue, sehingga wanita kesayanganku itu pasti akan begitu nyambung jika mengobrol dengan Satya yang seorang chef. Berbeda denganku yang tidak jago-jago amat kalau masalah memasak, tapi kalau masalah membuat kue, aku yakin kemampuanku bisa diadu dengan Mama.

Mama sudah mengenal Satya sejak pria itu menjadi pacarku sejak masa putih abu-abu. Jadi, tidak heran kalau Mama tidak canggung mengobrol banyak hal dengan Satya walau sudah sepuluh tahun tidak bertemu. Mereka masih saja akrab, dan begitu bersemangat saat mengobrol soal bawang, cabai, dan segala antek-anteknya.

Senyumanku tanpa sadar mengembang saat aku melihat interaksi mereka berdua dari undakan tangga terakhir. De javu, lagi-lagi perasaan itu kembali menguasai ujung kaki sampai kepala. Dulu aku juga sering melihat pemandangan ini, dan ternyata rasanya juga masih sama—hangat. Seperti kamu pulang ke rumah dan disambut baik oleh keluarga, seperti kamu dipeluk erat karena baru saja pergi jauh dengan bisikan ‘welcome home’. Semuanya terasa benar, dan lengkap.

Aku bersedekap dada. “Dasar Mama pengkhianat sejati! Ma, Satya ini yang dulu bikin aku nangis 3 hari tiga malem karena putus, lho. Bukannya diomelin kok malah akrab banget, sih! Sebenarnya anak Mama aku apa dia, sih?” tanyaku pura-pura cemberut.

“Lho, yang punya masalah sama Satya kan kamu. Mama mah nggak ada masalah apa-apa, jadi buat apa juga Mama marah sama Satya? Lagian pacaran kalo putus itu wajar, lho. Tentu, ada saat di mana Mama marah sama Satya karena nyakitin kamu, tapi Mama nggak mungkin marah selamanya, kan? Dan kapan lagi Mama bisa dapat kelas masak gratis dari juri Master Chef-nya langsung? Mama sih manusia ogah rugi!” oceh Mama yang hanya aku respons dengan gelengan kepala. Sejak ikut Mama lima belas tahun lalu, ternyata wanita itu sama sekali tidak berubah. 

Masih cerewet dan narsis seperti biasa, dan yang jelas masih saja jadi manusia ogah rugi. 

Kadang aku juga heran sendiri. Bagaimana bisa Ayah yang seorang monster punya adik seperti malaikat seperti Mama? 

Dan, Ma, terima kasih karena sudah mau merawat aku selama ini.

“Yaudah, konsernya jam 8, kan? Mending kalian berangkat sekarang. Tahu sendiri Jakarta macetnya tiada duanya kayak Keanu Reeves di hati Mama.” 

“Ma, ah, inget umur!”

“Maaf, Thi, bukan cuma kamu yang nggak bisa ngelupain mantan.”

Dan tanggapan Mama hanya bisa membuat aku lagi-lagi geleng-geleng kepala, sedangkan Satya meresponnya dengan tawa kecil yang tidak baik untuk kesehatan jantungku. 

“Yaudah kita berangkat ya, Tante. Makasih karena udah izinin Kanthi jalan sama aku.”

“Aduh-aduh cah lanang. Kamu dari dulu memang nggak berubah, ya. Yaudah hati-hati. Kamu sama sopir kan, nak Satya?”

“Iya, Tan, Pak Soleh udah nunggu di luar. Kalo gitu kami permisi dulu, ya.” Setelah salim dan mencium pipi Mama aku pun segera mengikuti langkah Satya untuk keluar rumah.

Lagi, lagi, ada yang aneh di sini. 

***

Sesuai prediksiku, konser Cigarettes After Sex malam ini memang begitu ramai—mengingat tiket mereka langsung ludes di hari ke lima penjualan. Dan karena Satya membeli tiket VIP, kami pun menonton di stage paling depan. Begitu mendongak aku langsung bisa melihat performa dari pop band asal El Paso, Texas yang dibentuk tahun 2008 itu.

Sejujurnya, aku bukan tipe yang suka datang ke konser. Waktu ditanya apa konser impianku, pasti sejak SMP aku akan konsisten menjawab tidak ada. Aku akan memilih nonton ulang Avengers dari Iron Man atau nyicil maraton One Piece, karena tidak sudi berjubelan atau teriak-teriak sambil nyanyi bareng. Lagian itu serunya apa, sih?

Tetapi dua tahun terakhir aku memutuskan untuk break the rules, dan nyatanya hal ini tidak buruk sama sekali. Ternyata benar, sometimes it’s okay to try something new. Kalau itu hal yang baik tentunya. So, dua tahun lalu akhirnya aku memutuskan untuk ikut Arum nonton konser BTS di Kuala Lumpur, dan yada ... yada ... akhirnya aku malah ketagihan datang ke konser. 

Konser sudah dimulai sejak tiga puluh menit lalu, dan semua orang tampak bersemangat untuk bernyanyi bersama saat Greg Gonzales yang merupakan main vocal dari CAS mulai memasuki reff dari lagu Apocalypse. Dan aku juga tidak kalah unjuk suara walau aku sadar diri suaraku itu cempreng dan tidak bagus-bagus amat. 

Dan karena semangat dan euphoria dari penonton yang semakin meningkat, penonton pun mulai menyanyi seraya mengangkat kedua tangan dan juga saling dorong ke depan. Sehingga tubuhku juga ikut terdorong sehingga aku menjerit karena yakin sekali jika kepalaku akan membentur pagar yang memagari panggung dengan kerasnya.

Namun, hal yang aku bayangkan tidak terjadi, karena ada sebuah tangan yang memeluk tubuhku dari belakang sehingga tubuhku dan tubuh Satya menempel tanpa ada jarak apa pun. Pelukan Satya selalu terasa hangat, tubuh kami begitu pas, seperti kami memang diciptakan untuk satu sama lain. 

Seperti kami memang ditakdirkan untuk saling memeluk untuk waktu yang sangat lama. Dulu, aku juga berpikiran hal yang sama—dan tentunya itu hanya delusiku belaka. Karena aku dan Satya nyatanya usai, bahkan ternyata semua tidak pernah dimulai.

“Are you okay, baby?” tanya Satya seraya mengecup leherku lembut.

Hal yang baru saja Satya lakukan tentu saja tidak bagus untuk tubuhku. Karena saat ini aku terasa terbakar dari ujung kaki sampai kepala, dadaku berdetak dengan sangat kencang seolah mau keluar dari rongganya, dan jari-jariku rasanya gemetaran.

Namun, sepertinya bukan hanya aku yang merasakan reaksi kimia saat kulit kami bersentuhan, karena saat ini aku dapat merasakan dada Satya yang berdetak tidak karuan di punggungku. 

“Gue ... oke. Thanks, karena nggak biarin gue jatuh.”

Orang-orang mulai tenang saat CAS mengganti lagu menjadi K. Bahkan, banyak dari para penonton yang menyanyi dengan nada lirih dan galau. Lagu yang satu ini memang pahit, manis, dan membuat dada sakit dalam satu waktu.

Satya tidak melepaskan pelukannya, hingga selama konser kami tetap berdiri di posisi yang sama. “Aku nggak bakalan pernah biarin kamu jatuh. Dan sungguh, beneran nggak papa kalau kali ini aku juga yang jatuh cinta sendirian.”

Pria itu lagi-lagi mengecup bahu dan leherku. “I remember when I first notice that you liked me back, dan saat itu aku beneran jadi manusia yang paling bahagia di dunia. Dan aku harap ... kali ini aku dapat kesempatan itu satu kali lagi.”

Sungguh, aku tak tahu harus berkata apa. Jadi, kali ini aku hanya diam saja dan menikmati setiap momen yang ada. Setidaknya sampai nanti akhirnya aku tahu jawab dari semua tanya yang menggema di kepala.

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now