lord, save me, my drug is my baby

49.9K 3.6K 24
                                    

Aku memutar bola mata malas saat lagi-lagi aku melihat bangunan yang amat sangat familiar bagiku akhir-akhir ini. Bahkan, aku sudah menginap di sana dua kali. 

“Oke, Bapak Satya! Lo adalah driver O-car paling buruk yang pernah gue dapet. Soalnya jelas-jelas ini bukan tujuan yang kita sepakati sebelumnya! Ck, tadinya gue mau ngasih bintang lima karena lo udah sempet-sempetin bawa payung ke kuburan segala. Dan karena lo adalah mantan gue yang paling nyebelin, tadinya udah mau gue kasih bintang satu. Tapi lo ternyata double nyebelin, jadi gue bakal ngasih bintang satu sekaligus review jelek di Twitter biar lo trending. By the way, lo masak apa hari ini?” tanyaku seraya melepas selt belt yang sejak tadi melingkari tubuhku.

Haish, kenapa sih aku selalu bacot kalau lagi gugup? Memalukan

Lalu tanpa menunggu Satya aku pun segera berlari ke samping restoran dan menuju lift kaca yang akan langsung membawaku ke lantai empat—yang merupakan penthouse Satya.

Sial, ternyata hujan yang aku terobos tanpa berpikir tadi lumayan deras, sehingga kini bagian atas tubuhku cukup basah. Lalu aku langsung masuk ke dalam kamar Satya dan menguncinya dari dalam. 

Aku berjalan ke arah kamar mandi dan membuka pakaian basah yang aku pakai satu per satu, hingga akhirnya aku telanjang bulat. Lalu aku menyalakan shower dan membiarkan hangatnya air mengalir dari ujung kaki sampai kepala.

Aku tahu secara implusif diriku baru saja membuat keputusan yang gila. Dan aku tidak akan bisa mundur sekarang, aku sudah terlanjur menceburkan diri jadi mari biarkan diriku basah sekalian.

Aku menatap mataku sendiri dari cermin kamar mandi. Ada banyak emosi yang bercampur di sana, tapi rasa sakit jelas mendominasi. 

Baik, mari rasakan sakitnya sampai akhir, sampai semua ini tidak sakit lagi. Atau paling tidak, sampai ia juga merasakan sakit yang sama.

Let’s start the game, babe.

***

Setelah memakai kemeja Satya yang tentunya kebesaran di tubuhku, aku pun segera keluar dari kamar. Dan sesuai prediksiku, pria itu pasti sudah menyiapkan sesuatu. Memang tidak ada lilin yang harus ditiup atau pesta kejutan dengan berbagai pita dan lagu selamat ulang tahun—Satya tahu aku benci hari lahirku sendiri—tapi pria itu memasak semua makanan kesukaanku, sebuket bunga mawar yang sangat cantik, es krim yang menggiurkan, berkotak-kotak coklat, dan ciki-ciki kelebihan micin yang akan membuat bengek. 

Satya menyiapkan semua yang aku suka, pria itu selalu tahu bagaimana membuat aku merasa nyaman dan merasa dicintai.

Hah, cinta, ya?

Aku mendekat ke arah pria itu lalu menodongkan tangan kananku. “Kasih gue kunci wine cellar lo!”

Satya membenarkan kerah kemeja yang aku pakai, dan aku sama sekali tidak menghindar walau saat ini tubuh kami hampir menempel. “Aku udah bilang kalau aku nggak bakalan pernah buka wine cellar lagi kalau kamu di sini. Lagian aku udah nyiapin yang lain,” ujarnya seraya melirik tiga susu kotak dengan berbagai rasa yang tertata di meja.

“Ck, Satttttttt! Emangnya ini ulang tahun gue yang ke tujuh sampai lo kasih gue susu sapi bebas lemak? Gue udah dua puluh tujuh tahun! Lagian kenapa kalo gue mabuk, kan ada lo di sini,” ujarku seraya menatap intens dua bola mata Satya.

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now