sstt ... i know your secret

50.2K 3.9K 101
                                    

10 tahun lalu,

“Kadang hidup ini kampret, ya. Saat gue punya pacar kalian berdua jomlo, giliran gue jomlo kalian malah punya pacar. Padahal gue kan pengen coba triple date, pasti seruuuuuu!”

“Oke, let’s make it clear ya, Je. Gue nggak pacaran sama Satya. Nggak tahu deh kalo si Arum sama Rafael.”

“Gue juga nggak pacaran sama dia, oke? Tapi, karena di ulangan matematika kali ini dia beneran dapat 8, gue bakal nemenin dia nonton.”

Oh, Arum! Andai dia tahu. Demi bisa nonton dengannya Rafael Januardi—si sangklek kalau ujian suka ngitung kancing itu—betulan belajar matematika mati-matian sebulanan ini. Bahkan, ia sampai bangun jam tiga pagi buat belajar sampai kadang mengganggu aku atau Jessica dengan spam chat di Facebook kalau ada hal yang tidak ia mengerti. Jadi, kalau saat ini Rafael dapat nilai memuaskan, itu adalah hal yang wajar sekali.

Aku tipe yang percaya kalau setiap orang bisa berubah. Nggak ada orang yang bakal malas seterusnya, atau terpuruk seterusnya. Kita semua bisa berubah kalau punya motivasi yang tepat, dan motivasi bisa datang dari mana saja. Termasuk dari orang yang kita suka, karena katanya soulmate memang bakal selalu saling melengkapi. Ia yang bisa membuat kita jadi lebih baik, biasanya juga ialah yang terbaik. 

“Ya, terserah apa kata kalianlah! Pokoknya kalo akhirnya kalian beneran pacaran, PJ gue harus premium, oke? Gue sampe relain tukeran dress gue biar Kanthi bisa kencan sama Satya, dan rela bangun jam 3—“

“Je!” teriakku yang sontak membuat Jessica menutup mulutnya. Kami sudah berjanji pada Rafael tidak akan membocorkan rahasianya ini dan Jessica—si mulut ember satu itu memang kadang suka lupa diri.

Jessica berdeham pelan. “Pokoknya gue bakal minta pejeh yang banyak!” serunya dengan serigaian super menyebalkan di bibirnya.

Aku memutar bola mata malas. “Cuy, lo bolak-balik jadian juga nggak pernah tuh ngasih pajak jadian sama sekali. So, kenapa gue sama Arum harus? Mau taruhan? Palingan lo yang nanti jadian sama Haikal duluan.”

“Nah, betul!” sahut Arum setuju.

“Sorry, girls, bahkan mau maksain takdir sekalipun gue sama Haikal emang nggak bakalan bisa. Soalnya gue nggak tahu apa bagusnya si Wiyoko sampai gue gagal move on, gue belum beneran heal. Dan gue tahu di mata kalian gue ini si player cap kadal buntung, tapi kalo gue masih ada rasa sama mantan, gue nggak bakalan maksain punya hubungan sama orang lain. Karena itu bajingan."

“Yup, lo player bukan bajingan.”

Healing takes time, Je. So, take your time, cuy. Dan mending lo ikutin saran Arum buat pacaran sama buku dulu, biar nanti nilai UN kita mantul.”

“Oke, ketidakadilan macam apa ini, hah? Kenapa sebelum UN lo berdua boleh pacaran sama cowok sedangkan gue harus pacaran sama buku?” tanya Jessica sambil cemberut yang langsung aku dan Arum respons dengan tawa dan tentu saja itu sontak membuat bibir Jessica semakin mirip bebek.

***

Aku bisa menjawab kuis sejarah duluan, oleh karena itu saat ini aku boleh pulang lebih dulu dibandingkan dengan teman-teman sekelasku. Tentu saja lorong sekolah saat ini masih sepi, karena jam pulang memang 15 menit lagi. 

Dan karena hari ini aku ada janji mau membeli tali dan logo pramuka untuk acara persami—perkemahan Sabtu-Minggu—akhir pekan ini dengan dua sahabat somplakku, aku pun tidak langsung pulang. Melainkan memilih menunggu mereka seraya berdiri di lorong sekolah sambil melihat ke arah lapangan untuk melihat para adik kelas yang tengah olahraga.

Kelas manapun yang dapat pelajaran olahraga di jam terakh¹ir memang benar-benar sial, karena saat ini matahari sedang tinggi-tingginya, tapi mereka harus berpanas-panasan di lapangan paling tidak selama dua jam. 

Namun, ada hubungan super aneh antara bola dengan para makluk berkromosom XY yang tidak akan pernah bisa aku mengerti. Soalnya, walau saat ini matahari panasnya begitu menyengat, terlihat sekali kalau para adik kelasku sangat menikmati pertandingan bola yang sedang mereka lakukan. Sampai bersorak dan bermain dengan begitu semangat, tak peduli kulit mereka mulai berubah warna karena sengatan matahari dan keringat yang mengucur di dahi.

Aku ikut bertepuk tangan kecil dan memekik senang saat akhirnya salah satu tim ada yang berhasil mencetak gol. Selebrasi mereka benar-benar lucu-lucu.

“Hi, ceweknya Satya!” sapa Sergio yang sontak membuatku berlonjak kaget, karena tanpa tanda apa pun pria itu tiba-tiba sudah ada di sampingku.

“Astaga, Sergio! Emangnya lo hantu apa? Kenapa sih suka banget muncul tiba-tiba! Dan gue bukan ceweknya Satya, jadi berhenti panggil gue itu!”

Selain persami yang cukup menyita perhatian seminggu terakhir, Sergio juga termasuk salah satu yang membuat aku sakit kepala akhir-akhir ini. Aku tidak tahu apa motivasi cowok itu sehingga terus menggangguku, tapi gara-gara Sergio banyak rumor tidak mengenakan tentang aku dan Satya yang menyebar di seantero sekolah.

Percayalah, jadi si figuran yang tidak di-notice siapa pun lebih baik, daripada kamu tiba-tiba populer dan jadi suka overthinking karena merasa orang-orang tengah membicarakanmu. 

“Ceweknya Satya, ceweknya Satya!” 

Bukannya berhenti karena aku omeli, si sedeng ini malah semakin menjadi. Sergio ini ternyata jahil sekali, dan itu benar-benar super menyebalkan.

“Sssst Sergio!” kesalku seraya menutup mulut pria itu dengan tangan kananku karena jam sekolah sudah berbunyi, dan beberapa murid yang baru saja keluar kelas mulai memberikan atensinya pada kami. 

Sebab jengah menjadi perhatian orang-orang, akhirnya aku menyeret lengan cowok itu dan membawanya ke samping sekolah yang sepi. 

“Sergio Bastian! Sebenarnya lo mau apa, sih?” tanyaku frustrasi.

“Nggak ada. Cuma seru aja liat lo marah, ceweknya Satya!”

Hah? Maksudnya apa coba? 

“Gue bukan ceweknya Satya!”

“Ya, semoga lo emang nggak bakal pernah jadi cowoknya. Karena gimana ya, gue juga jadi pengin nyimpe lo buat diri gue sendiri. Terus gue masukin ke gantungan kunci, biar bisa gue bawa ke mana-mana.”

Ini Sergio mabok integral apa gimana, sih? 

Please, kalo lo emang mau nggak jelas gini, nggak usah ngajak-ngajak gue!” ujarku seraya berbalik badan, tapi Sergio menahan tanganku hingga kini aku kembali menghadap ke arahnya. 

“Ah, kebetulan gue mau ngajak lo nonton hari ini.”

“Gue nggak mau.”

Sergio tersenyum manis saat mendengar penolakanku, dan entah kenapa firasatku buruk soal ini. Lalu ia membuka tasnya dan menunjukkan sesuatu yang sontak membuat kedua bola mataku membola.

Holyshittttttttttttt! Bagaimana bisa benda memalukan itu bisa ada di tangan Sergio?

Aku pun berusaha mengambil surat itu, tapi tentu saja Sergio tidak akan pernah membiarkan aku menang. 

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now