you really don't have idea....

84.1K 6.1K 62
                                    

Kamu tahu apa hal yang bisa membuatmu begadang semalaman selain nonton final All England yang entah kenapa seringnya menaruh pemain Indonesia di partai terakhir? Mantan kamu bilang I miss you!

Tidak, bukannya aku belum move on dari Satya dan 'I miss you' sialan itu membuat hatiku berdebar atau perutku diserang badai kupu-kupu, tapi lebih karena perasaan marah sebab Satya bertindak seolah-olah pria itu berhak mengatakan hal itu dengan mudah.

Mengingat apa yang dilakukan Satya dan saudara tirinya yang sama-sama gila itu, seharusnya pria itu tahu diri kalau ia tidak seharusnya menunjukkan wajahnya di depanku, atau berbicara padaku, apalagi bilang I miss you!

I miss you your head, Saaaaaaaaaaaaaaaaaaat!

Kalau kalian pikir masa pacaranku dan Satya saat sekolah penuh dengan drama dan rasa sakit, maka itu semua tidak terjadi. Berpacaran dengan Satya adalah salah satu hal terbaik yang pernah aku lakukan. Kami sangat bahagia dan punya banyak kenangan manis. Bagiku Satya adalah yang pertama dalam segala hal yang menyangkut perasaan. Dan harus akui, pada saat itu aku bahagia luar biasa.

Lalu semua kebahagiaan itu lenyap dalam satu hari, karena nyatanya semua itu semu. Sejak awal semua sudah direncanakan, semua sudah dirancang, dan aku si tolol yang tidak tahu apa-apa ini terjebak dalam permainan konyol itu dengan mudah. Bahagia sendirian, berdebar sendirian, dan jatuh cinta sendirian.

Aku mendesah frustrasi lalu memutuskan untuk turun dari kasur dan lari pagi. Cahaya matahari memang baru muncul samar-samar, tapi jalanan komplek sudah ramai dilewati oleh orang-orang yang berolahraga. Biasanya aku hanya berputar lari dari blok A ke blok C, tapi pagi ini aku memutuskan untuk lari sampai blok E.

Selain workout, lari pagi juga merupakan caraku untuk melepaskan emosi. Makanya dari tadi aku terus berlari sekuat tenaga sambil sesekali memaki. Aku memaki Satya, memaki Sergio, memaki masa SMA-ku yang nggak ada bagus-bagusnya itu, memaki julukan baby doll yang menjijikan itu, memaki kantuk yang tak kunjung datang, dan memaki kakiku yang sudah tidak kuat berlari hingga akhirnya aku memutuskan untuk berjalan.

Dengan napas ngos-ngosan aku pun berjalan membelah jalanan komplek yang mulai panas.

"Hi," sapa seseorang yang sontak membuatku menolehkan kepala ke arah suara.

Hello takdir? Apa kamu belum puas mengerjaiku habis-habisan sejak kemarin?

Aku mengabaikan sapaan Sergio dan mulai kembali berlari. Sergio pun ikut berlari sejajar denganku, membuatku langsung bete setengah mati. Bisa tidak sih Sergio pura-pura tidak kenal saja denganku? Dan apakah dia tidak tahu jika aku tidak menanggapi sapaannya karena tidak ingin bicara dengan pria itu?

Aku berlari semakin kencang, tak peduli saat ini kakiku sudah sangat lemas dan napasku mulai tersengal.

Run! Run! Don't stop! Run! Run! Run! Run! Run! Ruuuuuun!

"Hiiiiiii, Kanthiiiiiiii!" sapa Sergio panjang dan lebih keras sehingga kini kami jadi perhatian orang-orang. Bahkan, hampir semua orang kini menengok ke arah kami. Haish, si sinting itu!

RUN! DON'T STOP! RUNNN!

Hah ... hah ... hahhhh....

Namun sialnya, aku benar-benar sudah sampai batas kemampuanku. Sehingga kini aku berhenti dengan napas tersengal dengan kedua tangan bertumpu di lutut. Sergio juga ikut berhenti, terlihat senyum menyebalkan bertengger di bibirnya.

"Need help?" ujar Sergio seraya mengulurkan tangan kanannya.

Aku menepis tangan itu kasar, dan mulai berjalan pelan dengan kaki gemetar. Sergio meraih bahuku dan menuntunku duduk di bangku taman. Awalnya aku menolak, tapi tenaga pria itu lebih kuat sehingga akhirnya aku hanya menurut.

Begitu duduk di bangku aku langsung mendorong pelan dada kiri sergio dengan jari telunjukku yang lemas.

"How dare you karena bikin gue lari 500 meter tanpa berhenti!" teriakku masih dengan napas ngos-ngosan.

Sergio meraih jari telunjukku yang ada di dadanya, dan dengan kasar aku langsung menepis tangan pria itu.

Sergio tersenyum lebar, lalu duduk di sampingku dengan gaya tengilnya yang minta ditabok itu. "Lagian kenapa lo harus kabur pas gue sapa, sih? Kan, kita bisa jogging bareng. Seneng rasanya tahu ada orang gue kenal di sini. You know ... Gue baru pindah kemarin dan lingkungan sini bener-bener asing."

"No! Gue nggak tahu dan nggak mau tahu! So, lain kali pura-pura nggak kenal aja, oke?"

Sergio meremas dada kirinya hiperbola. "Ouch, you hurt me."

Aku tertawa sinis. "Emangnya lo tahu apa soal rasa sakit? Bukannya nyakitin orang lain adalah cara lo bersenang-senang, Sergio?" tanyaku seraya menantang mata Sergio berani.

Sergio balas menatap mataku. "You ... really ... don't ... have ... idea ... gimana sakitnya jatuh cinta sendirian selama sepuluh tahun sampai lo mati rasa. Lo nggak pernah tahu rasanya, nggak pernah tahu," sinis Sergio tapi aku dapat mendengar nada frutrasi dalam suaranya.

Lalu kami saling bertatapan sangat lama. Setelah sepuluh tahun akhirnya aku bisa melihat wajah Sergio dengan leluasa. Ternyata Sergio punya tahi lalat kecil di dagu dan bawah mata kirinya. Pria itu juga punya bekas luka samar di pelipis kanan-mungkin akibat terpentok meja saat main petak umpet waktu masih kecil. Rambut pria itu lurus dan walau saat ini poninya menempel di kening akibat keringat, aku tahu gaya rambut pria itu tidak berubah sejak SMA. Mata pria itu ternyata tidak hitam legam, ada sedikit warna kecoklatan di bola matanya yang mungkin tidak akan terlihat kalau tidak diamati dengan benar. Dan sejak kapan bajingan satu ini punya tatapan selembut ini? Jenis tatapan yang akan membuatmu langsung tahu kalau-ia bakal menusuk jantungnya sendiri setelah tahu kamu minum racun.

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now