i wish i was special; you're fucking special

47K 3.7K 65
                                    

10 tahun lalu,

Jakarta Sabtu ini terasa begitu dingin. Walau hujan sudah berhenti tiga jam lalu, tapi sisa-sisa air yang berkubang di jalanan, udara lembab nan menusuk tulang masih tersisa di bumi. Sehingga aku membuka gulungan lengan jaket hingga seluruh tanganku tenggelam karena jaket Jessica memang agak kebesaran di tubuhku. Bodo amat orang lain akan menganggap style-ku aneh atau apa, yang penting saat ini tubuhku rasanya lebih hangat.

Aku paling tidak tahan dengan udara dingin, karena itu akan membuat tubuhku langsung menggigil dan bolak-balik kencing. Sungguh, hujan sama sekali bukan musim favoritku. 

Sekolah tidak seramai biasanya, malah bisa dibilang sangatlah sepi. Hanya ada beberapa siswa yang berlalu lalang dengan baju bebas dan santai. Namun hal itu sangatlah wajar, sebab sekolah memang hanya sampai hari Jumat.

Seharusnya rencana kami bertiga juga tidak begini. Setelah kemarin kami main warnet sepuasnya dan karaoke sampai jam sembilan malam, lalu lanjut menginap di rumah Jessica—untuk menghibur gadis itu yang baru saja putus dan menodongku bercerita soal Satya ... and yups di tambah Sergio—paginya kami akan eksperimen di dapur dan membuat makanan Thailand. Tetapi rencana kami hancur berantakan, karena saat ini kami bertiga malah datang ke sekolah di Sabtu pagi yang mendung untuk menemani Arum rapat osis. 

Sejak kelas sepuluh Arum memang sudah menjadi anggota osis, oleh karena itu gadis itu cukup dekat dengan kakak kelas maupun adik kelas dan juga guru-guru. Tugas yang diemban gadis itu juga selalu selalu selesai dengan baik, makanya tidak heran selama tiga tahun beturut-turut gadis itu selalu punya tempat di organisasi siswa intra sekolah. 

Aku tahu karena ini rapat osis, Satya juga pasti akan datang. Dan saat ini aku tengah bete setengah mati dengan pria itu, karena setelah kemarin membuat aku baper di atas sekolah sampai nanya soal ‘perbintangan’ segala, pria itu malah tiba-tiba menghilang tanpa kabar.

Wussss~ begitu saja, seolah kami tidak punya cerita, seolah aku tidak pernah hadir di hidupnya.

SMSku tidak dibalas, chat Facebook-ku dianggurin doang padahal ia online, pokoknya aku seperti digantung tanpa kepastian.

Tarik ulur itu menyebalkan, dan gengsiku juga menyebalkan. Pokoknya Sabtu ini aku benar-benar bad mood parah!

“Si Satya belum hubungin lo juga?” tanya Arum—mungkin gadis itu kepo karena sejak tadi mukaku ditekuk.

Semalam aku memang menceritakan segala hal tentang Satya kepada dua sahabatku itu. Mulai dari pertemuan kami di GOR, toko buku, dan acara belajar kami di atap sekolah. Arum lebih tenang saat menanggapi ceritaku, dan Jessica memang selalu jadi si paling heboh.

Aku pun menggeleng setelah lagi-lagi mengecek ponsel dan tidak ada SMS yang masuk atau pun notifikasi chat Facebook dari pria itu. “Belum,” jawabku dengan nada bete yang tidak aku sembunyikan sama sekali.

“Sabar coy, cowok emang gitu. Demen bener tarik ulur. Atau lo mau ikut Arum rapat aja? Sekalian nanya kenapa paduka Satya tiba-tiba menghilang?” goda Jessica.

“Dih, ogah amat! Gue emang bete, tapi gue nggak se-desperate itu kali. Dan tujuan kita hari ini ke sekolah mau numpang wifi di perpus, jadi ke sana sekarang aja, Yuk? Gue mau lanjut download Full House!”

“Oh iya deng, gue juga mau liat MV Super Junior. Mau liat Babang Kyuh-Yun tercinta! Tapi, Thi, memori gue abis, deh. Nanti gue numpang di tempat lo, ya?”

Aku mengacungkan jari jempolku. “Gampang itu mah aman. Kalo gitu gue sama si Jeje ke perpus dulu, ya! See you later!”

Setelah itu aku dan Jessica pun segera meninggalkan Arum dan pergi ke perpustakaan sekolah yang memang buka dari Senin-Minggu. Oleh karena itu, siapa pun siswa yang hendak belajar atau kerja kelompok, pintu perpustakaan selalu terbuka lebar. Apalagi perpustakaan punya fasilitas paling lengkap di sekolah karena dilengkapi wifi segala, tidak heran tempat ini menjadi tempat favorit banyak siswa. Walau mungkin kebanyakan modus seperti aku dan juga Jessica.

Kami kalau ke perpustakaan selalu sambil menyelam minum air. Selain belajar kami biasanya ke perpus juga sambil numpang download musik atau drama Korea. Kadang cuma lihat-lihat rak berharap menemukan hidden gem—buku bagus—tersembunyi lagi-lagi sambil mengunduh drama Korea, tapi tidak jarang juga tempat ini menjadi saksi bisu betapa pusingnya kami karena tugas yang tidak habis-habis dan PR matematika yang susahnya tiada dua. 

Jeje langsung ngacir ke bangku belakang untuk modus belajar bareng Haikal—gebetan barunya—yang menurut Jessica semesta jodohkan dengannya, karena tanpa janjian mereka malah bertemu di perpustakaan sekolah. Namun dasar Jessica si sinting itu! Padahal tadi malam ia masih nangisin mantan karena galau, tapi sekarang sudah bisa haha-hihi saja! 

Aku memutuskan duduk di bangku dekat jendela sehingga dapat merasakan hangatnya matahari pagi yang membelai kulit. Langit juga sudah biru cerah, semoga saja hujan tidak akan turun lagi hari ini.

Seraya menunggu episode terakhir Full House terunduh 100% aku pun membaca ulang materi sejarah yang akan muncul di ulangan besok pagi. Karena bosan akhirnya aku mengambil headset dari dalam tas dan belajar sambil mendengarkan lagu Creep dari Radiohead.

I wish I was special....

You are fucking special....

Dan penggalan lirik di atas malah membuat dadaku berdenyut nyeri dan tambah bete setengah mati. Karena sepertinya hanya aku yang menganggap Satya spesial, sedangkan cowok itu hanya menganggap aku bukan siapa-siapa.

Setelah patah hati sejak kelas 10 akhirnya aku kembali jatuh cinta, tapi sepertinya kali ini aku bakal patah hati sekali lagi. 

Masa abu-abu indah dengan percintaan lancar jaya itu cuma ada di novel fiksi remaja. Jadi, sebaiknya mulai sekarang aku tidak lagi berharap apa-apa. 

Dan mungkin memang benar kalau aku tidak pantas dicintai oleh siapa-siapa.

Aku langsung tersenyum kecut saat mengingat semua hal menyakitkan yang langsung membuat punggungku nyeri itu. Aku tidak tahu apa jadinya kalau Mama tidak muncul hari itu, mungkin aku benar-benar sudah mati.

Aku tahu apa yang aku lakukan ini memanglah kebiasaan buruk, tapi melukai jari jempolku sendiri benar-benar membuat perasaanku jadi lebih baik. Aku menaruh kedua tanganku di pangkuan, lalu aku menekan kuku jari telunjukku ke jari jempol sekuat tenaga. Sehingga rasa sakit yang tadinya aku rasakan dari ujung kaki sampai kepala, hanya aku rasakan di ibu jariku saja. 

“Thi, temenin gue ke kamar mandi, yuk! Sakit perut nih gue!”

“Oke!” ujarku seraya membuntuti Jessica yang sudah ngacir lebih dulu. Sedangkan aku berjalan di belakangnya seraya memasukkan tangan kananku yang gemetar ke saku jaket. Saat akhirnya langkah kami sejajar, semua sudah kembali berjalan normal.

Dan aku hanya bisa tertawa ngakak saat mendengar pedekate Jessica dengan Haikal yang lumayan absurd itu, dasar si player cap kucing garong satu ini!

Sembari menunggu Jessica keluar dari kamar mandi, aku memutuskan untuk berjalan membelah koridor sekolah untuk melihat anak-anak yang tengah ekskul basket di GOR. Tetapi tiba-tiba ada yang menarik tanganku hingga kini tubuhku menabrak dada bidang seseorang. Dan aroma parfum yang dipakai pria itu sungguh familiar.

“Hi.”

“Hi.”

Lalu pria itu menyelipkan sesuatu di tangan kiriku sebelum kembali pergi. Namun, baru tiga langkah ia berjalan ia sudah berbalik badan dan berkata, “Jangan pulang dulu, ya? Gue bentar lagi beres! Tunggu gue di parkiran!” Setelah itu ia kembali berlari ke arah gedung C dan aku hanya bisa melongo seraya berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

Aku melihat kertas yang diselipkan Satya di tangan kananku dan kedua netraku langsung membulat sempurna begitu aku menyadari apa maksud dari semua ini. Holyshitttttttt! Aku tidak mungkin pergi dengan pakaian begini, kan?

“Je, buruuuuuuu! I need your help!”

“Buseeeeet, ada apaan sih, Thi? Sabar gue masih mules cuy!”

Haduh, haduh, kalau pulang untuk ganti pakaian, keburu nggak, ya?

Second Chance (Completed)Where stories live. Discover now